Oleh dr Taufiq Pasiak
ANDA yang rajin menyimak segala lomba nyanyi di televisi akan menemukan fenomena berbeda dari tahun ke tahun. Lomba menyanyi sekelas Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indonesia, Mama Mia, Idola Cilik dan lain-lain, menunjukan kemajuan yang bermakna dari tahun ke tahun. 3 minggu terakhir saya menyaksikan Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang ditayangkan stasiun televisi TPI. Saya menyaksikan KDI ini dengan serius hanya untuk mengamati bagaimana 3 orang juri (Tri Utami, Caroline Zahri dan Chyntia), terutama penyanyi dan pencipta lagu Tri Utami ‘menguliti’ (ini lebih halus dari kata ‘membantai’) setiap kontestan dari segala sudut. Dibandingkan juri Indonesian Idol, juri KDI jauh lebih galak dan seperti tak memiliki perasaan halus ketika mengkritik. Tri Utami, seperti halnya Anang di Indonesian Idol tak segan-segan melontarkan kritik pedas yang memerahkan telinga kontestan, dan sering menimbulkan rasa dongkol tak tertahankan. Seorang peserta Indonesian idol yang dikritik Anang –sehingga tidak lolos ke babak Eliminasi– menantang Anang untuk bertarung nyanyi dengannya. Menurutnya, Anang cuma ‘banya mulu’. “Suara Anang saja pas-pasan,” kata kontestan itu. Begitu Anang, begitu juga Tri Utami. Teman saya marah betul pada Tri Utami. “Terlalu mengada-ada,” katanya. “Menyanyi itu yang penting enak didengar. Tidak usah teori yang muluk-muluk,” lanjut kawan saya itu.
Dalam 3 minggu menyaksikan secara intensif acara itu saya pada akhirnya berpendapat bahwa untuk menjadi besar, dewasa, dan survive, seorang penyanyi tidak cukup bermodalkan suara bagus, tubuh aduhai, dan bibir sensual. Kematangan mental, pengetahuan yang cukup dan kekuatan diri menjadi bagian penting untuk bertahan lama sebagai penyanyi. Kalau memang sekadar untuk mendapatkan duit dan popularitas, maka goyangan seks, suara sensual, dan lirik-lirik lagu yang aneh-aneh, cukup menjadi nilai jual yang laku. Ketika menonton seorang penyanyi dangdut yang bergoyang seperti gaya orang bersetubuh saya bingung dengan diri saya sendiri; apakah saya sedang menonton visualisasi dan simulasi orang bersetubuh, ataukah saya sedang menikmati lagu. Jujur, hati kecil saya menyatakan bahwa tarikan ke arah seksual lebih jauh kuat. Saya tidak dapat menikmati lagu dengan nikmat dan ketentraman. Boleh jadi orang akan mengatakan bahwa saya sendiri yang salah; mengapa melihat goyangannya, bukan mendengar lagunya? Namun, rasanya sulit menyatakan ini sebagai soal persepsi. Karena Anda dan saya pasti akan memiliki penilaian yang sama bahwa yang sedang ditunjukkan itu adalah simulasi persetubuhan. Kalau ada yang melihatnya sebagai gerakan olahraga, maka itu dapat berarti bahwa mungkin olahraga kesenangan yang bersangkutan adalah bersetubuh. Dari segi anatomis tubuh, gerakan-gerakan yang dipertontonkan itu tipikal gerakan perempuan. Goyangan pinggul, disertai gerakan maju mundur, dada membusung, mata menatap dan bibir sensual, adalah tipikal gerakan tubuh perempuan ketika sedang menikmati persetubuhan, atau sedang berupaya memikat orang. Kalau ada lelaki yang melakukan gerakan ini, maka hanya ada 2 kemungkinan; ada gangguan sistem muskuloskletetal (gangguan tulang dan otot) dan lelaki itu banci. Karena ini jelas-jelas bukan gerakan olahraga.
Mengandalkan gerakan tubuh saja dalam soal menyanyi membuat penyanyi berusia pendek, dalam dunia menyanyi. Tidak usah heran kalau kemudian kita temukan orang-orang yang bertahan lama adalah mereka yang telah kebal dengan kritikan, belajar terus menerus dan selalu memperbaiki penampilan mereka secara lebih berkualitas. Untuk menjadi orang besar, entah penyanyi besar, politikus besar, bankir besar, guru besar, pedagang besar, polisi besar, seseorang mesti siap dikritik. Kritik selalu pedas dan pasti tidak enak di telinga. Anda perhatikan; kritik pedas yang disampaikan oleh Tri Utami adalah kritik konstruktif memiliki dasar kuat. Ia memberikan ilmu menyanyi yang diperolehnya bertahun-tahun dalam sebuah kritik yang disampaikan tidak lebih dari 15 menit. Untuk menjadi hebat seseorang harus belajar keras dan giat. Guru saya, seorang peneliti, dosen, penulis terkenal mesti banting tulang puluhan tahun untuk mendapatkan sesuatu yang dirasakannya hari ini. Ia mesti masuk hutan, bertemu binatang buas, jatuh bangun di jurang, rela tidak makan 2 hari, masuk rumah sakit karena gigitan ular, tidak memiliki rumah pribadi sampai usia 50 tahun, naik angkutan umum ke kampus, untuk dapat menguasai berbagai macam ilmu. Kawan baik saya mesti belajar bertahun-tahun, menghilangkan kenikmatan-kenikmatan tertentu, mengeluarkan sejumlah uang, untuk mendapat kemampuan berbahasa Jerman dengan baik. Kawan saya yang lain –kini seorang pedagang grosiran yang berhasil– mesti bertarung dengan kelelahan dan kekurangan makan untuk mendapatkan apa yang dia dapat hari ini. Sebagai pedagang keliling ia mesti masuk keluar kantor dan rumah untuk mendapatkan pembeli, tidak jarang ia mendapatkan sumpah serapah dari tuan rumah. Kalau hari ini ia memiliki toko di berbagai daerah, rumah mentereng, mobil mewah dan penghormatan, maka itu buah dari perjuangan keras yang tak kenal lelah. Ia sudah menerima berbagai kritikan yang sangat pedas untuk memantapkan apa yang dia tekuni. Kawan saya yang lain –kini menjadi birokrat dan pejabat– mesti berjuang, bekerja dan belajar keras untuk mendapatkan apa yang dia dapatkan hari ini. Ia mesti sering pulang malam, dimarahi di depan umum, membuat tugas bertumpuk, tidak mendapatkan promosi jabatan, disuruh sana-sini. Ia pernah merasakan sakit hati yang amat sangat ketika melihat kawannya yang lain, yang diketahuinya tidak memiliki prestasi apa-apa, kurang pengalaman, pendidikan tidak lebih tinggi dari dia, tiba-tiba mendapatkan promosi jabatan yang baik, hanya karena dekat dengan top leader. Untuk mendapatkan apa yang hari ini dia nikmati –sekali waktu– ia mesti melakukan sesuatu yang menurutnya tidak pernah dilakukan, meskipun itu bukan pelanggaran hukum. Ia mesti sedikit membangkang dengan atasannya sendiri.
Anda perhatikan, orang-orang yang berhasil adalah mereka yang bermandi keringat (kadang darah), mengorbankan banyak hal dan belajar dengan sangat giat. Karena itu, untuk maju dan berhasil jangan takut dikritik dan lengah dengan pujian. Kritik adalah bagian dari upaya mendewasakan diri, membuat mentalitas kita lebih kuat dan terasa. Terima kritik dengan lapang dada, latih telinga untuk akrab dengan kritik dan kuatkan pikiran untuk menerima. Terhadap pujian, jangan lengah dan lupa daratan. Untuk menjadi pendekar yang hebat Anda mesti bertarung, ‘turun gunung’ dan adu kekuatan dengan pendekar lain. Anda tidak mungkin jadi pendekar hebat hanya dengan berlatih tanpa pertarungan. Pukulan guru Anda adalah mutiara yang mahal. (#)