Oleh Martina A Langi
SEJAK gagasan Earth Day dicetuskan 46 tahun yang lalu, momentum hari Bumi lantas “diperingati” setiap tahun. Salah satu hal yang patut dicatat melalui proses penetapan itu adalah peran politikus yang tidak kecil. Kita mengenal nama-nama seperti Senator Gaylord Nelson (founder of Earth Day), Emil Salim, hingga Al Gore, yang terakhir ini berhasil “menyentak” perhatian dunia lewat film dokumenter An Inconvenient Truth yang beberapa kali mendapat penghargaan internasional bergengsi. Bagi kita di Indonesia, hari Bumi sebaiknya dimaknai sebagai suatu peringatan (mental reminder) yang melandasi kebersamaan yang tulus serta sungguh-sungguh dari berbagai pihak (pemerintah, warga masyarakat, pengusaha, dan pelaku pendidikan formal/informal) untuk membuat perubahan positif dalam cara memandang alam ini, bumi (: rumah) kita satu-satunya.
Waktu sendiri adalah suatu sumberdaya, karenanya penundaaan merupakan suatu pemborosan. Sadar atau tidak, kualitas hidup manusia tak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan. Dunia kini semakin memahaminya, baik lewat peningkatan wawasan dan pemahaman maupun lewat musibah yang terkait dengan salah penanganan terhadap alam (mismanagement). Peningkatan pemahaman tersebut tengah terjadi secara global yang pada gilirannya membuahkan kebijakan, konvensi, peraturan, hingga hukum yang sejatinya mengatur pemanfaatan sumberdaya alam secara lebih arif dan efektif. Efektif berarti sesuai kebutuhan (bukan keinginan) serta merata; dan arif berarti sustainable atau punya efek keberlanjutan yang aman sepanjang mungkin.
Kita yang berada di daerah ini, tidak dapat berbuat lain. Political will sangatlah vital dan seharusnya justru menjadi kekuatan untuk buying time guna membuat perubahan yang berarti, bukankah ini adalah “kepentingan umum di atas kepentingan golongan atau pribadi” ? Berkaca pada negara lain, pemimpin politik yang menarik hati rakyat (yang kritis) adalah mereka yang bereputasi handal terhadap lingkungan, paling tidak mereka yang tulus dalam kepeduliannya. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas menyiratkan harapan tersebut.
Political will sesungguhnya sanggup membuat perubahan. Perubahan paradigma lingkungan dari yang bersifat seremonial dan retorika (: romantisme lingkungan) menjadi adopsi gaya hidup baru yang lebih peka dan arif terhadap lingkungan sesungguhnya merupakan pilihan yang cerdas. Tidak saja kita masih bisa memilih tetapi juga kita masih mampu untuk berbuat sesuatu yang bermakna terhadap “rumah” kita bersama ini. Rumah yang porak-poranda memang dapat diperbaiki, namun ingat bahwa masa depan dibeli dengan masa sekarang. Semakin besar kerusakan yang kita buat, maka semakin mahal pula kita harus membayarnya. Pertanyaannya adalah: akan mampukah kita?
Hari Bumi adalah hari Bumi, namun panggilan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang menggambarkan citra-Nya adalah dasar yang kuat untuk membuktikan kepedulian serta tanggung jawab kita sebagai individu dan masyarakat luas terhadap sesama ciptaan yang lain. Perubahan nyata hanya dapat terjadi apabila pembaharuan budi tidak hanya menjadi sekadar slogan belaka. Banyak selamat apabila kita masih bisa menikmati bumi yang nyaman, mari berpolitik untuk menyelamatkan bumi kita tercinta ini. Siapa bilang politik itu kotor?#
*Ketua P.S. Kehutanan Faperta Unsrat dan Ketua Badan Konsultan AMDAL Unsrat