11 April 2008

Status Hukum Tanah-Tanah Bekas Hak Barat

Oleh Budi Tarigan SH*

BEBERAPA hari ini Kota Manado dihebohkan dengan pemberitaan akan adanya “eksekusi terbesar di Kota Manado” terhadap tanah-tanah bekas aset-aset NV Lie Boen Yat yang ada di Kota Manado.
Tulisan ini tidak bermaksud mencampuri kewenangan pengadilan dalam eksekusi atas tanah-tanah dimaksud, akan tetapi hanya mencoba melihat kembali aturan-aturan hukum yang mengatur tanah-tanah bekas hak Barat, sehingga dapat memperjelas status hukum tanah-tanah bekas hak Barat saat ini.
Penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama lebih dari 350 tahun di Indonesia, mengakibatkan penjajahan di segala aspek kehidupan, termaksud terhadap hak-hak atas tanah, dengan menerapkan Hukum Barat atas tanah-tanah hak Barat di Indonesia. Tujuan dari pemberlakuan hak-hak Barat itu semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai tanah-tanah di Indonesia dengan tidak mempedulikan hak-hak atas tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia.
Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama (S.1834-27), serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat (S. 1873-38).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah.
Bahwa akan tetapi karena belum adanya aturan hukum yang mengatur hak-hak atas tanah sehingga berdasarkan ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu:
a. Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 yang berlaku mulai pada tanggal 24 Januari 1958, semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara.
Bahwa selain tanah-tanah partikelir (tanah eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang juga dihapus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara.
Penghapusan tanah-tanah partikelir dimaksud disertai dengan pemberian ganti rugi kepada para bekas pemegang hak.
b. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda
Bahwa berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI.
Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda/asing maka harta-harta kekayaannya termasuk hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi milik negara, dan hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
c. Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal Direksi
Berdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya.
Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa semua rumah dan tanah bangunan kepunyaan badan-badan hukum yang direksi/pengurusnya sudah meninggalkan Indonesia dan menurut kenyataannya tidak lagi menyelenggarakan ketatalaksanaan dan usahanya, dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia.
d. Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga Negara Belanda
Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960.
Dalam aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria.
Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB).
Barangsiapa yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia.
Bahwa setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang belum dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak atas tanah sesuai dengan sistem yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya.
Bahwa dalam pelaksana konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:
1. Prinsip Nasionalitas
Dalam UUPA pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh PP. 38 tahun 1968.
2. Pengakuan Hak-Hak Tanah terdahulu.
Bahwa ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hak-hak atas tanah dengan tetap diakuinya hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun kepada Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA.
3. Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi
Bahwa sesuai pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA.
4. Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu
Bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat.
Bahwa setelah disaring melalui ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dan aturan pelaksanaannya maka terhadap hak-hak atas tanah bekas hak Barat dapat menjadi:
1. Tanah Negara karena terkena ketentuan azas Nasionalitas atau karena tidak dikonversi menjadi hak menurut Undang-Undang pokok Agraria.
2. Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut Undang-Undang pokok Agraria seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) Diktum Kedua Pasal I, III dan V hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 dan karenanya sejak saat itu menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Untuk mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan tersebut dan menentukan hubungan hukum serta penggunaan peruntukannya lebih lanjut dari tanah tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979.
Maksud dari pada kedua peraturan dimaksud kecuali menegaskan status tanah sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pada saat berakhirnya hak atas tanah asal konversi hak Barat, juga dimaksudkan untuk mengatur kebijaksanaan menyeluruh dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.
Bahwa yang menjadi pokok kebijaksanaan dalam Keputusan Presiden No. 32/1979 adalah penegasan kembali tentang berakhirnya hak atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat (yang dikonversi menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di dalam UUPA, dengan maksud untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak Barat atas tanah di Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu hak atas tanah asal Konversi Hak Barat itu tidak akan diperpanjang lagi.
Bahwa selanjutnya tanah-tanah asal Konversi Hak-hak Barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah melalui pemberian hak baru.#

*Kepala Seksi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Kanwil BPN Sulut