19 April 2008

Ujian Negara

Oleh Yong Ohoitimur MSC

BEBERAPA hari lagi, 22-24 April 2008, akan diselenggarakan Ujian Negara (UN) bagi para siswa-siswi SMA, MA, dan SMK secara nasional. Sebenarnya UN sudah menjadi seremoni yang biasa saja, karena telah menjadi tradisi pendidikan di negeri ini. Sudah berbagai pendapat kritis dikemukakan untuk mengubah tradisi tersebut, tetapi seperti dikatakan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menanggapi perdebatan tentang UN tahun 2007 yang lalu, “UN masih tetap baik. Bila ada, hanya masalah kecil saja.”
Pemerintah tentu saja harus mempertahankan dan menilai positif eksistensi dan penyelenggaraan UN. Namun, terutama sesudah penyelenggaraan UN tahun 2006 dan 2007, berbagai praktek buruk dimunculkan ke permukaan hampir di seluruh negeri ini. Pertama, bocornya soal ujian dan jawaban ujian nasional ini terjadi di beberapa kota di Indonesia. Entah bagaimana cara para siswa mendapatkan bocoran itu. Ada yang mendapatkannya dari SMS, diberitahu teman, atau mungkin membeli soal ujian. Kedua, praktrek nyontek yang cukup menyeluruh, dan sudah dianggap biasa saja di sekolah-sekolah. Ada siswa yang benar-benar belajar keras dan tidak mau nyontek. Tetapi sebagian lagi mengandalkan praktek tidak jujur itu agar lulus dan memperoleh ijazah. Ketiga, lembaran pekerjaan tidak diisi oleh para siswa, karena mereka memang tidak mampu menjawab soal-soal ujian. Maka gurulah yang membantu mengisi lembaran jawaban yang dibiarkan kosong. Keempat, praktek kecurangan atau manipulasi hasil UN dilakukan di dinas pendidikan. Tahun lalu (2007), tak lama setelah penyelenggaraan UN, Direktur Pusat Penilaian Pendidikan, Burhannudin Tolla, PhD, mengingatkan perlunya sikap waspada terhadap terjadinya praktik kecurangan atau manipulasi hasil UN yang dilakukan secara sistematis serta terorganisir oleh dinas pendidikan, kecamatan, kabupaten atau kota. Pasalnya, berdasarkan hasil riset dengan menggunakan sejumlah alat ukur ilmiah oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Departemen Nasional, ditengarai upaya memanipulasi hasil UN. Ia mengatakan, "Kami sudah melakukan riset. Kami menduga sejumlah daerah di kabupaten dan kota sengaja secara sistematis pada pelaksanaan UN tahun lalu melakukannya. Karena itu, dalam pelaksanaan UN tahun ini yang harus diwaspadai penuh adalah upaya kecurangan yang justru dilakukan oleh pihak tertentu yang berada di dinas pendidikan di daerah," ujarnya.
Sebenarnya secara gamblang masalah-masalah seputar penyelenggaraan UN menyampaikan pesan tentang buramnya kultur pendidikan. Pertama, semangat kerja keras dengan ketekunan dan disiplin belajar, belumlah menjadi karaktek belajar di lembaga-lembaga pendidikan kita. Hanya segelintir siswa yang punya karakter belajar itu, dan pula hanya sedikit sekolah yang berupaya menciptakan moral pendidikan yang semestinya. Kedua, praktek kecurangan dan manipulasi sekitar penyelenggaraan dan hasil UN hanyalah serpihan dari roh ketidakjujuran atau kecurangan yang telah menjadi habitus (kebiasaan berperilaku) yang mengakar di negeri ini. Sama seperti praktek korupsi dan kolusi sulit diberantas, demikian pula praktek yang sama dalam lembaga-lembaga pendidikan sulit dihentikan. Banyak dari kita mungkin sama sekali tidak menyadari bahwa praktek kecurangan atau manipulasi yang dilakukan di sekolah merupakan bagian dari proses pembentukan mentalitas dan pandangan hidup yang menganggap biasa segala macam praktek yang tidak jujur dan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Apabila corruption exercise itu terus berlangsung di sekolah-sekolah, maka niscaya korupsi dan segala ketidakjujuran akan terus menjadi karakter kultural negeri ini. Ketiga, kita masih kuat menganut pandangan bahwa lulus ujian dan mendapatkan ijazah adalah segala-galanya. Entah kelulusan itu diperoleh dengan cara yang tidak benar dan tidak baik, sering dianggap bukanlah masalah. Jadi, yang dikejar adalah nilai kelulusan yang setinggi-tingginya. Untuk itu segala cara dihalalkan. Lebih parah lagi, kelulusan dikaitkan dengan gengsi lembaga atau daerah. Ada guru dan pimpinan sekolah yang berpandangan bahwa persentasi kelulusan siswanya mencerminkan keberhasilan sekolahnya. Dan ada pula pejabat di dinas pendidikan yang punya pendirian bahwa persentasi kelulusan menjadi ukuran absolut kualitas pendidikan di daerahnya. Akibatnya, segala daya upaya dilakukan, juga bila perlu melalui kecurangan dan manipulasi, agar siswa sekolah atau daerahnya dapat lulus seratus persen.
Menjelang pelaksanaan UN tahun 2008 ini, baiklah kita mengintrospeksi diri: Apakah tahun ini kita mampu menumbuhkan kultur pendidikan yang bersih dari segala macam kecurangan dan manipulasi? Mampukah kita tidak berkompromi dengan siapa pun yang terbukti tidak jujur dalam penyelenggaraan ujian? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dan yang lain juga, menentukan kualitas moral pendidikan kita. Persentasi yang tinggi kelulusan UN kiranya tidak menghasilkan kebanggaan yang semu.(#)