Menuju Perekonomian Gorontalo yang Cerah
(Catatan singkat dari peringatan HUT Provinsi Gorontalo, Februari 2008)
Oleh Herwin Mopangga*
PENGEMBANGAN ekonomi suatu daerah hendaknya tidak hanya ditujukan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, yakni kenaikan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh bekerjanya faktor-faktor produksi di daerah tersebut yang menyebabkan kenaikan pendapatan tetapi jauh lebih penting adalah adanya perubahan dan perbaikan kualitas hidup, transformasi struktural serta partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Kualitas hidup yang dimaksud adalah meningkatnya kemampuan manusia (individu maupun masyarakat) dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan hiburan) secara terus-menerus sekaligus menghapuskan berbagai bentuk ketidakadilan sosial, malnutrisi, buta huruf, pengangguran, pemukiman kumuh dan ketimpangan pendapatan.
Transformasi struktural dimaksudkan agar terjadi perbaikan dari aspek sosial, budaya, politik, dan regulasi yang menunjang pengembangan ekonomi, menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi baik dalam dan luar negeri. Selain itu perlu adanya usaha-usaha terpadu dan menjadi sumber pendapatan. Hal ini untuk menghindari ketergantungan berlebihan terhadap sektor ekonomi tertentu seperti pertanian, yang rentan terhadap fluktuasi. Dengan demikian memberi ruang yang cukup untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri dan jasa.
Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder dimaksudkan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi juga menjadi subjek yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya.
Perekonomian Gorontalo sebagai salah satu provinsi termuda yang dideklarasikan tepat di era otonomi daerah pun menarik dicermati. Daerah ini yang sebelumnya tergabung dalam Provinsi Sulawesi Utara, awalnya amat diragukan untuk dapat mengurus dan mengelola perekonomiannya secara mandiri. Tetapi berkat kerja keras segenap komponen masyarakat bersama pemerintah beberapa tahun terakhir ini, telah menunjukkan hasil-hasil positif.
Sepenggal Sejarah Gorontalo
Jauh sebelum masa penjajahan Belanda, Gorontalo merupakan sebuah jazirah yang didiami oleh komunitas secara berkelompok-kelompok atau kerap dalam bahasa etnik setempat, disebut sebagai “pohalaa”. Masing-masing pohalaa tersebut memiliki pemimpin sendiri yang disebut raja (olongia). Dalam catatan sejarah terdapat lima pohalaa besar, masing-masing Gorontalo, Limboto, Bone, Bolango dan Atinggola.
Pada 1922, dalam masa penjajahan Belanda, Gorontalo dibagi menjadi tiga afdeling yaitu Gorontalo, Boalemo, Buol. Masing-masing afdeling terdiri dari beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang Jogugu dan Under Distrik dipimpin oleh Marsaole (setingkat camat).
Pada masa perjuangan kemerdekaan, manuskrip sejarah Gorontalo mencatat bahwa Gorontalo merdeka pada 23 Januari 1942. Jauh sebelum Soekarno dan Mohamad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Meski merdeka sebelum proklamasi, para pejuang kemerdekaan mengikatkan Gorontalo dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, terintegrasi dengan Provinsi Sulawesi Utara.
Jika pada masa perjuangan kemerdekaan, rakyat Gorontalo mengusung semangat untuk lepas dari penjajahan Belanda, maka masa-masa setelah kemerdekaan diisi dengan perjuangan untuk memperoleh kesetaraan sosial dan politik serta keadilan ekonomi. Semangat itulah yang mengantarkan masyarakat Gorontalo secara bersama-sama berjuang untuk memekarkan diri dan membentuk Provinsi Gorontalo.
Sungguhpun demikian semangat untuk memperoleh kesetaraan sosial politik dan keadilan ekonomi tidak akan menemui momentumnya manakala desentralisasi dan otonomi daerah, tidak dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah menjadi kanal yang mengalirkan emosi pemekaran wilayah yang dipicu oleh alasan kesenjangan dan ketidaksetaraan dengan daerah induk. Akhirnya, Gorontalo resmi menjadi provinsi ke-32 di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 38 tahun 2000.
EKONOMI
* Pertumbuhan Ekonomi
Meskipun Gorontalo merupakan provinsi termuda di Indonesia, tetapi dari segi pertumbuhan ekonomi, menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dari 2001 sampai dengan 2005 pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat rata-rata 6,55 persen setiap tahun.
* Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak menjamin Gorontalo luput dari hambatan-hambatan besar. Di tengah pertumbuhan yang terbilang tinggi justeru Gorontalo memiliki jumlah penduduk miskin yang besar. Sekitar 28,87 persen pada 2004 penduduk Gorontalo hidup dalam keadaan miskin.
Di antara daerah-daerah di Gorontalo, kantong kemiskinan terbesar berada di Kabupaten Gorontalo.
Persoalan kemiskinan, bukan semata-mata dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi. Dalam konteks kemiskinan juga, ada persoalan yang berhubungan dengan pendidikan, kesehatan, dan paling penting lagi adalah akses masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kapital. Faktor terakhir ini menuntut peran serta pemerintah dalam mengelola kebijakan-kebijakan publik yang lebih berpihak kepada masyarakat. Sebab itu kebijakan pemerintah harus tepat sasaran.
Di samping kemiskinan, masalah lain menimpa Gorontalo di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, adalah jumlah pengangguran relatif besar.
Perbedaan sangat mencolok terjadi pada data pengangguran berdasarkan Sakernas dengan Susenas. Terlepas dari data Sakernas dan Susenas, paling tidak ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengangguran di antaranya faktor pendidikan, tetapi paling utama adalah ketersediaan lapangan kerja, di samping faktor-faktor ekonomi lainnya.
* Penduduk
Penduduk Provinsi Gorontalo dari tahun ke tahun, cenderung meningkat. Tetapi peningkatan yang paling signifikan terjadi pada 2003 yakni sebesar 28.130 jiwa.
* Fertilitas
Perkembangan jumlah penduduk Gorontalo cenderung statis sehingga dibandingkan provinsi lainnya di Sulawesi, jumlahnya paling kecil.
Kabupaten Gorontalo, memiliki penduduk terbesar di Provinsi Gorontalo. 45 persen dari total penduduk Provinsi Gorontalo, pada 2005 berada di Kabupaten Gorontalo. Kota Gorontalo terpadat di antara kabupaten kota se-Provinsi Gorontalo. Meskipun Kabupaten Gorontalo memiliki persentase jumlah penduduk terbesar pada 2005, tetapi dari segi kepadatan penduduk, Kota Gorontalo memiliki tingkat kepadatan tertinggi berdasarkan perhitungan penduduk per km2.
Kepadatan yang tinggi di Kota Gorontalo salah satunya dipengaruhi oleh luas wilayah yang hanya 1 persen dari total luas wilayah didiami oleh 17 persen dari total penduduk Provinsi Gorontalo. Sedangkan 28 persen dari total luas provinsi (Kabupaten Gorontalo) didiami 45 persen penduduk.
* Infrastruktur
Sebagian besar pembangunan infrastruktur di Gorontalo disediakan pemerintah. Pada sektor lain seperti pertambangan, industri rumah tangga, kelistrikan, sanitasi, komunikasi, sebagian besar dibangun oleh pihak swasta. Rata-rata 30 persen dari biaya modal dalam lima tahun terakhir dialokasikan untuk penyediaan sarana air bersih, dan fasilitas sanitasi, jaringan jalan, irigasi, dan listrik.
Pembangunan infrastruktur di Gorontalo lebih rendah dari tingkat rata-rata nasional. Rumah tangga yang mendapat akses pipa air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), kondisi jalan baik, dan fasilitas sanitasi, masih berada pada tingkat lebih rendah dari rata-rata nasional. Indikator lainnya menunjukkan lebih tinggi dari rata-rata nasional seperti lahan irigasi sebagai persentase terhadap luas lahan pertanian, dan tingkat kepadatan jalan.
* Inflasi
Sejauh ini laju inflasi Gorontalo tergolong mederat. Sepanjang 2006 (Januari-Desember) laju inflasi sebesar 7,54 persen atau rata-rata 0,63 persen per bulan, lebih tinggi dibanding inflasi Sulawesi, Maluku, Papua (Sulampua) sebesar 7,07 persen dan inflasi nasional sebesar 6,60 persen per tahun. Kendari mencatat laju inflasi tertinggi di Sulampua sebesar 10,57 persen (yoy) sedangkan terendah dicatat oleh Ambon (4,80), Manado (5,09) dan Ternate (5,12).
Data publikasi BPS Mei 2007, menurut perhitungan Indeks Harga Konsumen, Gorontalo mencatat inflasi sebesar 0,62 persen dan menempati posisi tertinggi ke-9 secara nasional dan ke-6 di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Penyumbang terbesar inflasi ini adalah dari kelompok bahan makanan, makanan jadi, minuman, rokok, tembakau, perumahan, sandang, dan kesehatan. Dari komponen penyumbang inflasi di atas bisa menjadi petunjuk awal bahwa minat dan perilaku konsumsi masyarakat mulai meningkat. Suatu pertanda positif bagi pelaku usaha yang berencana melakukan ekspansi bisnis.
Terkait dengan hal-hal di atas, penulis merekomendasikan poin-poin sebagai berikut:
1. Kebijakan makroekonomi dalam hubungan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah mencakup upaya peningkatan investasi baik pemerintah maupun swasta diarahkan pada sektor atau komoditas unggulan daerah yang berdampak positif terhadap output, pendapatan dan kesempatan kerja.
2. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai hendaknya terus ditingkatkan dengan memprioritaskan pada pengembangan basis ekonomi rakyat, distribusi pendapatan, perbaikan kualitas hidup, transformasi struktural dan partisipasi masyarakat.
3. Pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan stimulator mendorong pengembangan jiwa wirausaha melalui penciptaan iklim bisnis yang sehat dan kompetitif, peningkatan jumlah dan kualitas infrastruktur (social overhead capital) dan pengolahan produksi, distribusi dan pemasaran yang terpadu. (#)
* Mahasiswa Pascasarjana IPB; Dosen Universitas Negeri Gorontalo