24 April 2008

Polemik Perempuan Dalam Media

Oleh Musdalifah Dachrud*

PERTARUNGAN wacana terbesar dalam membahas fenomena perempuan di media massa adalah antara ‘ideologi’ dengan ‘objektivitas’. Wacana didominasi patriarkhisme sehingga objektivitas yang muncul justru menjadi subjektivitas karena ideologi patriarki bercokol disana. Informasi dan pengetahuan tentang perempuan yang dikonstruk oleh kalangan laki-laki justru menjadikan perempuan kurang berpeluang untuk mengkonstruksikan dirinya sendiri. Tak pelak lagi, media massa yang mengakselerasi penyebaran ideologi tersebut mendominasi ruang publik perempuan. Perempuan sebagai pengelola media, sebagai isi pesan media dan sebagai konsumen media, dengan kata lain sebagai objek sekaligus subjek media atas hegemoni laki-laki. Menjadi masalah, apakah prosentase perempuan yang besar di media massa menjamin kuatnya perlawanan terhadap ketimpangan isi pesan media? Maka jawabannya, belum menjamin. Perempuan sebagai konsumen media tentunya melihat sosok sejenisnya dalam media. Perempuan pasti mempunyai gambaran tersendiri mengenai dirinya. Gambaran diri setiap orang tentu akan berbeda, tergantung background dan sudut pandang. Seorang pemuka agama, pakar politik, pakar ekonomi, aktivis LSM, ibu rumah tangga atau masyarakat biasa lainnya akan berbeda satu sama lain dalam melihat citra perempuan dalam media. Namun bagaimana secara spesifik perempuan memandang pencitraan dirinya dalam media? Apakah ia mampu melihat ketimpangan? Atau bahkan menganggap ketimpangan itu tidak ada? Realita menjadi jawabannya. Banyak media tentang perempuan, dikelola perempuan, dikonsumsi perempuan, justru melegitimasi nilai-nilai keterpurukan perempuan pada domain domestik dan marjinal semata-mata. Perempuan diidentikkan dengan “konsumsi” sedangkan laki-laki sebagai “produksi”. Laki-laki memiliki jam kerja delapan jam sehari, sedangkan aktivitas perempuan yang sehari penuh sepanjang siang dan malam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak, tidak disebut sebagai bekerja, melainkan sebagai ibu rumah tangga. Stereotype laki-laki mencari uang perempuan menghabiskannya. Maka muncul pertanyaan, siapa yang memberi label semacam itu? Apakah kemarjinalan itu muncul dari luar atau dari perempuan sendiri seperti halnya identifikasi keidentikan konsumsi dan produksi? Pertanyaan terabaikan, ketimpangan ini secara terus menerus direproduksi oleh media massa sehingga semakin mengkonstruk suatu nilai budaya yang patriarkhi.
Implikasi dari sifat media massa yang dapat mengembangbiakkan pesan dan kesan secara terus menerus melaju tinggi menjadi suatu gejala hanyutnya masyarakat dalam mekanisme teknologi media komunikasi, sehingga tuntutan untuk selalu mengejar (semisal kejar tayang), tuntutan komersil dan nilai jual mengakibatkan kedangkalan makna pesan dan pengaburan makna kesan yang disampaikan. Simak bagaimana sang Ratu Ngebor atau Ratu Gergaji diekploitasi pada area erotisnya – pinggul, pantat dan dada – bukan karena kapasitas suara yang semestinya sebagai seorang penyanyi. Perjalanan karier mulus dengan pernik-pernik rekayasa konflik untuk lebih dan tetap mengeksiskannya sekaligus menjadi ladang devisa bagi media dan penghasilan bagi orang-orang di sekelilingnya yang mengkonstruk sang ratu yang katanya “lugu”. Sementara itu, tuntutan media massa untuk menjaring sebanyak-banyaknya pemirsa atau pembaca, mengakibatkan dipilihnya jalan pintas yang mengabaikan nilai moral, etis, politik, sosial, kultural, dan spiritual. Dasar tuntutan ini menggiring media massa ke arah kecenderungan merayakan segala sesuatu yang bersifat remeh-temeh, ringan (banal), kesia-siaan, sesuatu yang tidak penting dan tidak perlu diketahui oleh khalayak umum semisal infotainment. Perempuan diposisikan sebagai konsumsi dan konsumer media yang memberi banyak aset. Tak terhitung jumlah acara TV bak kereta api dari chanel satu ke chanel lainnya,lembar demi lembar koran, tabloid atau majalah yang bermuatan mengungkit sisi hidup yang tidak perlu diketahui orang lain dan tidak sedikit mengungkap aib. Penonton yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga dan para gadis atau remaja putri diperdaya dan dininabobokkan dengan berita seputar gonjang-ganjing rumah tangga orang hanya karena ia bergelar “selebritis”. Padahal di balik itu tidak ada makna apapun –simak info pacaran, kawin, skandal, cerai dan sebagainya kecuali karena berita itu menyangkut orang terkenal. Inilah pendangkalan, pengaburan, perendahan, peringanan (banality) makna komunikasi dan informasi.
Dalam posisi ini, kembali perempuan menjadi idola. Tidak lengkap dan menarik suatu acara atau berita tanpa menampilkan daya tarik perempuan. Simak iklan media cetak atau media visual. Apa hubungan antara mie pedas dengan pinggul seorang perempuan, apa pula hubungan antara handphone mungil dengan lekuk tubuh perempuan, dan apa hubungan minuman dengan getaran dada Ratu Gergaji dan goyangan pantat Ratu ngebor, kalau tidak untuk mengeksposenya sebagai komoditas iklan murahan. Perkembangan perekonomian menjadikan perempuan sebagai ujung tombak promosi, pemanis cover majalah, penarik pembeli pastagigi, deodorant, minuman, makanan, kompor, alat elektronik, mobil, rokok, rumah bahkan traktor pun menggunakan perempuan sebagai daya tarik jual.
Ada perempuan mengkomersilkan traktor berpose dengan pusar dan payudara setengah kelihatan, paha pun demikian. Ketika mengendarai mobil ia tidak tahu menjalankannya dan mogok. Dengan bermodal kaki, paha yang setengah terbuka sambil membusungkan dada yang menantang, maka serombongan laki-laki beramai-ramai membantunya. Bagaimana tanggapan laki-laki dengan iklan ini? Konon terjadi tembak menembak memperebutkan perempuan tersebut. Ini salah satu iklan celana jeans.
Lebih miris lagi, perempuan menjadi objek sensualitas semata. Tidak hanya dilibatkan pada aspek fisik dari pendengaran dan penglihatan tetapi juga non fisik dalam rasa dan imajinasi. Lihat bagaimana perempuan ‘mengiklankan’ atau ‘diiklankan’ dirinya sebagai “dokter cinta”, “dewi fortuna”, “dewi asmara” hanya dengan mengontak nomor tertentu; atau bagaimana perempuan di media cetak dengan sangat vulgar ‘menjajakan’ atau ‘dijajakan’ dengan iklan-iklan menggiurkan, “ingin merem-melek hubungi…”, tak hanya bisikannya sentuhannya pun dahsyat,… coba saja”, dan banyak lagi iklan lainnya yang memposisikan perempuan secara ovened welcome sebagai ‘barang dagangan’.
Perempuan ditampilkan secara fisik semata sehingga keindahan yang dikonstruk media tersebut menjadi pilihan media tersebut. Fungsi tubuh pun bergeser dari fungsi organis, biologis, reproduktif, menjadi fungsi ekonomi politik sebagai “simbol”.
Jika kaum laki-laki diasosiasikan dengan profesi, kecerdasan, keberanian dan kegagahan dalam media massa, maka bagian perempuan yang ditonjolkan adalah rambut, bibir, mata, hidung, pipi, leher, buah dada, pusar, perut, pinggul, betis, kaki, sebagai kekuatan pesona – rangsangan, hasrat, citra- tertentu. Unsur-unsur inilah yang kerap dianggap sebagai komoditas yang laku. Sosok non biologis, seperti daya intelektual, ketrampilan, keahlian dan profesionalitas jarang sekali dan amat minim ditampilkan.
Dulu Kartini memperjuangkan harkat perempuan karena keterpurukan, terpasung, dimarjinalkan, dibiarkan bodoh, maka sekarang tidak hanya laki-laki, perempuan sendiri sebagai penikmat usaha Kartini kebablasan dengan euphoria kebebasan tanpa nilai dan moral. Dengan alasan membela harkat dan hak perempuan untuk berkarya, eksploitasi tubuh pun dibiarkan bahkan mendapat sokongan. Tak ayal, para “pembela perempuan” pun bicara dengan alasan hak azasi, karya seni, cari nafkah, tambahan biaya hidup, atau alasan mengangkat wong cilik yang tidak lebih tameng wong licik yang menjadikan perempuan lebih terpuruk. Apakah karena eksploitasi tersebut mendatangkan keuntungan finansial yang tidak hanya pada perempuan sendiri tetapi juga orang-orang atau media di sekelilingnya yang ketiban durian jatuh untuk devisa yang menggiurkan sehingga konspirasi semakin kukuh? Image pun berkembang dari sebuah konspirasi bahwa perempuan dimarjinalkan sekaligus memarjinalkan diri, perempuan menjadi subjek sekaligus objek keterpurukan, untung-rugi samar dibedakan dalam konteks mengorbankan diri atau dikorbankan oleh media massa. Inilah zona lingkaran pergulatan eksistensi perempuan. Kasihan perjuangan Kartini. Mungkin karena karya Kartini hanya menjadi pajangan tanpa dibaca sehingga makna mengangkat harkat dan martabat perempuan belum dipahami secara mendalam. Slogan “habislah gelap terbitlah terang “ seolah realita kehidupan perempuan menjawab lain dalam “kegelapan yang tak pernah habis dalam terang”.#

*Magister Psikologi UGM Yogyakarta, Dosen STAIN Manado