25 April 2008

Memperkosa Alam, Jangan!

(Sebuah Refleksi untuk Membangun Kesejatian Hidup dengan Memberdayakan Lingkungan)

Oleh Verly Tielung MSC*

TUGAS kita bukanlah belajar bagaimana untuk menakhodai pesawat antariksa bumi. Tugas kita bukanlah belajar bagaimana –sebagaimana Teilhard de Chardin akan melakukannya— untuk “menangkap pasak kemudi dunia”. Tugas kita adalah meninggalkan fantasi-fantasi kemahakuasaan kita. Dengan kata lain, kita harus berhenti mencoba mengemudikan…… Kita harus belajar lagi bahwa kitalah yang menjadi bagian dan bukan bumi milik kita (G. Tyler Miller, Jr., Replenish the Earth: A Primer in Human Ecology, 1972).
Ungkapan ini menggaris-bawahi posisi kita, manusia dalam keseluruhan alam semesta. Manusia bukanlah penguasa atas alam semesta. Ia hanyalah salah satu anggota komunitas alam. Bahkan, secara radikal, ia tidak berbeda dengan segumpal tanah di tepian danau atau sebutir pasir di pinggiran laut atau seekor monyet yang bergelantungan di sebongkah pohon. Ia sejajar dengan segala unsur yang ada di alam semesta. Ia, seperti diungkapkan Henryk Skolimowski, hanyalah partikel di antara sejumlah partikel. Ia adalah bagian/mitra kerja alam semesta.
EKOLOGI-DANGKAL
Gagasan-gagasan ini tentu kontras dengan segala indoktrinasi yang sudah ada di kepala kita. Yang ada di kepala kita, manusia adalah ciptaan yang paling mulia. Manusia adalah pusat dari segala sesuatu. Manusia berhak menguasai dan menaklukkan alam. Manusia adalah yang paling terhormat dan paling bernilai. Tidak mungkin manusia sejajar dengan sebongkah kayu atau seekor monyet. Sebongkah kayu, seekor monyet dan semua unsur yang ada di alam ada untuk memuaskan kepentingan manusia. Sejauh tidak memuaskan manusia, alam lingkungan tidaklah memiliki arti apa-apa. Pandangan inilah yang menjadi asal-muasal mengapa manusia dengan seenaknya merusak, memperkosa dan mengeksploitasi alam. Pandangan inilah yang menjadi sebab segala krisis ekologis dewasa ini. Pandangan ini disebut ekologi dangkal (antroposentrisme).
Ekologi-dangkal berakar dari tiga penafsiran keliru tentang posisi manusia dan alam lingkungan. Pertama, menurut teologi Kristen manusia diciptakan secitra dengan Allah dan diberi mandat untuk menguasai dan menaklukkan alam. Kedua, menurut tradisi Aristotelian manusia menempati urutan teratas rantai ciptaan, sehingga dianggap lebih superior dari ciptaan lain dan berhak untuk menggunakan semua makhluk lain untuk kepentingannya. Ketiga, manusia lebih tinggi dan terhormat karena menjadi satu-satunya makhluk yang bebas dan rasional (bdk. Pemikiran Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant).
EKOLOGI DALAM
Berbeda dengan ekologi-dangkal yang menganggap hanya manusia sajalah yang memiliki nilai, ekologi-dalam memandang semua unsur yang ada dalam alam semesta memiliki nilai dan harus dihargai. Para penganut ekologi-dalam menemukan bahwa ternyata spesies-spesies yang dianggap tidak rasional (oleh karena itu dianggap kurang bernilai) seperti bakteri, cacing dan planton justru memiliki nilai ekologis yang paling besar. Tanpa mereka seluruh ekosistem akan runtuh. Sebaliknya, spesies-spesies yang dianggap bernilai seperti ikan paus, dolpin (dan mungkin juga manusia), justru memiliki nilai ekologis yang paling kecil. Kehadiran mereka justru menjadi ancaman bagi keseluruhan alam semesta. Dari penemuan ini sebuah simpul kecil bisa ditarik: setiap unsur dalam alam semesta, baik yang rasional maupun yang tidak rasional, memiliki hak untuk diperlakukan secara terhormat. Membabat hutan secara serakah, misalnya, bukan saja tidak menghormati pohon pada dirinya, tetapi juga memperkosa hak jutaan spesies yang berlindung di sekitar pohon itu.
HIDUP SEJATI: TIDAK SERAKAH
Menarik untuk disinggung di sini cara hidup radikal para pertapa Jainisme. Karena rasa sayang mereka terhadap alam, mereka rela hidup telanjang (tanpa baju dan sandal), vegetarian radikal (hanya makan buah yang sudah terluka atau telah digigit binatang), buang air kecil/besar di alam bebas, berbahasa sopan termasuk pada tetumbuhan dan pada binatang dan berusaha sedapat mungkin untuk tidak menyakiti alam. Kita tentu tidak harus seradikal itu. Bersikap tidak serakah bisa menjadi satu ungkapan nyata sikap hormat dan sayang kita pada alam. Tidak serakah berarti kehendak untuk tidak selalu memiliki lebih dari yang dimiliki. Tidak serakah berarti mampu berpuasa, mengendalikan diri dan berani mengatakan cukup. Tidak serakah berarti mereduksi keegoisan kita sambil menghargai hak lingkungan untuk tumbuh dan berkembang. Tidak serakah berarti memberdayakan, merawat, melindungi dan bersahabat dengan lingkungan, bukan memperkosanya. Tidak serakah berarti hidup yang sejati.#

*Mahasiswa Filsafat Seminari Pineleng, anggota Kelompok Studi Mitra Skolastikat