Oleh Jerry G Tambun*
DEWI Persik si penyanyi dangdut akan diboikot jika tampil di Tangerang. Wali Kota Tangerang, mengkhawatirkan goyangan dangdut Persik akan menimbulkan berahi sehingga merusak mental generasi muda di kota itu. Rupanya sang Wali Kota lupa, soal birahi dan moral tidak selalu kasualitas. Kekuasaan memang cenderung berprasangka.
Lain selebriti lain pula politisi. Momentum sosial menjadi pendulum untuk mengukur kinerja-internal partai, namun secara eksternal berjuang untuk memperoleh bargaining power, dukungan massa dan mungkin ekonomi. Menarik, mencermati politisi Golkar mulai ’ber-oposisi’ soal Maeres Soputan Mining (MSM). Situasi ini mengingatkan saya pada cerita ’si kancil’ yang mencuri ketimun si petani (baca:marhaen). Konon ceritanya si kancil tertangkap juga. Kembali kekuasaan (politik) adalah siapa yang dapat memanfaatkan setiap celah. Pengelolaan kekuasaan yang kurang cerdik dapat mengakibatkan kejatuhan.
Rekan saya, George Aditjondro si pelopor pejuang lingkungan akan memuji kekukuhan Gubernur SH Sarundajang yang tak surut dari keputusannya. Meskipun dalam soal Dr Sam Ratulangi, Aditjondro memilih untuk tidak berargumentasi soal hasil penelitiannya karena tidak ingin dibenci oleh orang Minahasa. ”Saya menyukai orang Minahasa’’, katanya. Mengherankan ’proses pencarian kebenaran harus berhenti’ demi kekuasaan mayoritas.
Kembali ke soal kemunduran moral di atas. Persepsi tentang kemunduran moral sebenarnya tidak memerlukan penegasan otoritas subjektif. Von Savigny meyakini moral masyarakat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat yang mempunyai otoritas objektif itu. Lalu apakah otoritas formal berkompeten menentukan standar kemunduran moral tertentu?
Tacott Parson, tokoh stuktural fungsional percaya, bahwa masyarakat mempunyai sistem ajudifikasinya sendiri. Sebuah masyarakat menurutnya, mempunyai mekanisme sosial internal untuk menyelesaikan ‘ketidak-sesuaian’ sosial yang terjadi. Melalui hubungan yang saling memberi (reciprocity) Talcott menjelaskan bagaimana sub-sub sistem sosial; perumusan-tujuan (goal attainment), pemeliharaan pola (pattern maintenance), Adaptasi (adaptation) saling memberikan masukan satu dengan lain, kemudian dikoordinasi oleh subsistem integrasi sosial (integration) menghasilkan keluaran-keluaran (output) bagi kestabilan sistem sosial itu sendiri. Parson mengenyampingkan peranan otoritas formal dalam penyelesaian konflik. Pengadilan katanya, sebenarnya melakukan fungsi integrasi sosial itu, yaitu dapat menyelesaikan konflik yang diajukan kepadanya.
Dalam fakta moderen, pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam memajukan kesejahteraan sosial. Weber, sangat percaya birokrasi yang bertugas melayani publik adalah institusi yang rasional, yaitu tidak ada perlakuan yang sifatnya personal, tidak mempunyai self interest dan netral. Namun birokrasi yang rasional itu harus memenuhi syarat, kesesuaian (tidak terdapat ketentuan yang saling bertentangan, juga kebijakan yang saling bertentangan), dan di atas dari semuanya adalah birokrasi harus patuh pada hukum. Sehingga yang rasional tadi menjadi ’rule of law’.
’Perseteruan’ antara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pemerintah Provinsi Sulut dalam soal MSM, menjadikan environmentalist semakin populer, namun seringkali bersikap sebagai penonton ketika konflik lingkungan muncul. Perannya selalu muncul bagaikan ’resi’ yang datang menyatakan apa yang salah urus atas lingkungan memang air, udara, tanah, dan laut beserta isinya harus diselamatkan sebagai warisan masa depan. Kebijakan sustainable development merupakan bentuk ’konsiliasi’ untuk menengahi dikotomi antara ’kepentingan ekonomi manusia’ dan ’kepentingan keseimbangan alam.’ Pengelolaan alam secara berkesinambungan adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana konsepsi tadi dioperasionalkan.
Kebijakan point of no return Gubernur Sulawesi Utara atas pengelolaan MSM, meskipun tidak machstaat, namun juga mungkin tidak doelmatigheid perbedaan penafsiran tentang jatuh tempo dan rekomendasi berubah menjadi ’hukum’ meskipun batas waktu dan rekomendasi tidak tersebut dalam tata-susunan peraturan perundangan saat ini. Benar ulasan Talcott atas tulisan Weber bahwa birokrasi yang jatinya adalah servant, was trying to become the master.
Hingar bingar retorika politisi, gerakan unjuk rasa massa, pelaporan mass media dan terjadinya pengotakan masyarakat dalam pro dan kontra. Telah menuntun khalayak membuat spekulasi politik dan ekonomi sehingga memperumit masalah. Aktifis lingkungan boleh berbangga, kesadaran lingkungan masyarakat sudah meninggi. Politisi mempunyai momentum baik untuk mencuri suara. Birokrasi pemerintahan di daerah menghadapi ujian berat. Sayangnya, kita semua larut dan menanti dengan harap cemas cerita akhir soal MSM. Melupakan duduk soal hukumnya dan hampir tak terpikirkan; apabila soal MSM sampai ke tingkat arbitrase, apa efeknya bagi masyarakat, negara, maupun pemerintah daerah. Atau, memikirkan jalan terbaik menghentikan perbedaan penafsiran hukum antara SDM dan KLH, SDM dan Pemda, maupun perbedaan pendapat terhadap penolakan AMDAL MSM.
Menurut hemat saya, pengadilan tidak saja institusi untuk menyelesaikan sengketa hukum. Namun juga, dapat menentukan perbedaan penafsiran tentang apakah sebuah kewajiban sudah terlaksana (incidental question), tanpa harus sampai pada peradilan yang sesungguhnya yang akan memeriksa perkara pokok; yaitu apakah salah satu pihak, wanprestasi, breach of contract (MSM atau pemerintah Indonesia), dalam hal ini diwakili oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Surat Penunjukan 6 Nopember 1986 bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Indonesia). Kontrak karya juga mengatur soal penghentian perjanjian (termination) dalam pasal 22. Pasal 24 kontrak karya itupun membuka peluang penyelesaian sengketa (dispute settlement) melalui conciliation dengan ketentuan beracara UNCITRAL sesuai resolusi PBB 35/52 atau ’arbitration’ sesuai dengan resolusi PBB 31/98.
Institusi pengadilan sudah tentu dapat digunakan oleh salah satu pihak, meminta hakim memberikan penetapan tentang apakah sebuah prosedur sudah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku atau tidak. Sehingga masih ada waktu oleh kedua belah pihak untuk melakukan usaha yang sungguh-sungguh ataukah mengakhiri perjanjian, atau menyelesaikan sengketa lanjutannya dalam sistem beracara UNCITRAL baik untuk conciliation dan atau arbitration. Menggunakan cara ini menunjukkan sikap yang elegent untuk menghormati perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak.
Apakah Pemprov Sulut dapat melakukan intervensi pada tahap beracara Conciliation dan atau Arbitration menarik untuk dikaji secara khusus pada kesempatan lain. Mengingat objek pelaksanaan perjanjian Kontrak Karya berada di wilayah ini dan adanya public interest dari Pemprov Sulut. Pemprov Sulut sebaiknya menunjukan inisiatif sebagai bukti good faith untuk benar-benar ingin menyelesaikan persoalan ini. Karena tidak dapat disangkal dan ditolak, siapapun yang menang dalam conciliation dan atau arbitration (MSM atau pemerintah Indonesia), akibatnya akan dipikul oleh Pemprov dan rakyat Sulawesi Utara. Apapun bentuk inisiatif Pemprov Sulut (tidak harus berarti menyetujui pengoperasian) dapat menepis rumors, penggunaan kekuasaan semata, machstaat, menolak syak wasangka (judgemental), dan juga mematahkan manuver-manuver politik yang ingin memperkeruh suasana. Sebuah inisiatif saja merupakan sebuah kemenangan besar.#
*Pemerhati Masalah Hukum dan Sosial