28 April 2008

Pemotongan Anggaran Prokesos dan Pengakuan Eksistensi Profesi Pekerja Sosial

Oleh Drs Jefry Prang MSi*

PADA Sabtu, 29 Maret 2008 melalui surat kabar Harian Manado Post penulis terkejut ketika membaca berita mengenai “APBN Dinkesos Dipotong 11 Miliar”. Berita yang sangat memiriskan tersebut mendapat perhatian dari berbagai kalangan sehingga DPRD Sulut melalui komisi D anggota dewan James Karinda SH MH akan menelusuri pemotongan anggaran tersebut, sebuah langkah yang patut dihargai dan pantas mendapat acungan jempol karena sebagai wakil rakyat sangat peka dan jeli terhadap kebijaksanaan pemotongan anggaran yang merugikan masyarakat kecil dan miskin, secara khusus pegawai yang bekerja sebagai Pekerja Sosial pada Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) dengan pemotongan anggaran 11 miliar merasa prihatin karena sangat mempengaruhi rencana kerja dan target pencapaian kinerja Dinkesos dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara.
Bila dicermati lebih mendalam bahwa Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos) yang dilaksanakan oleh Dinkesos, terdapat 5 Prokesos yang menjadi unggulan yaitu: 1) kemiskinan, 2) keterlantaran, 3) kecacatan, 4) ketunaansosial dan 5) penanggulangan korban bencana. Adapun pelaksanaan 5 program tersebut, tidak seperti yang dibayangkan orang pada umumnya yang mempunyai pandangan bahwa memberikan bantuan kepada masyarakat sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) karena atas dasar kasih (charity) tanpa menggunakan prinsip, metode, dan pendekatan profesi pekerjaan sosial. Dari pengamatan penulis sebagai pegawai yang berprofesi pekerja sosial dalam kurun waktu selama kurang lebih 7 tahun terakhir ini, setelah dibentuknya Dinkesos Provinsi Sulut seperti diketahui Dinkesos dibentuk Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor: 18 Tahun 2001 dan Keputusan Gubernur Nomor 227 Tahun 2001 Tentang Uraian Tugas, barulah pada 2008 ini, Departemen Sosial RI Pusat (Depsos) mengambil kebijaksanaan pemotongan anggaran sebesar 11 miliar dari jumlah dana dekonsentrasi yang dialokasikan pada Dinkesos sebesar kurang lebih Rp25 miliar. Hal ini berarti bahwa Dinkesos pada 2008 ini dalam melaksanakan kegiatannya hanya mendapat dana Rp 14 miliar. Kebijaksanaan Depsos melaksanakan pemotongan anggaran tersebut bukannya tidak beralasan. Secara umum alasan Depsos ialah dalam rangka mensaving dana untuk penanggulangan bencana yang terjadi 2008. Akan tetapi secara khusus dapatlah dikatakan bahwa pemotongan tersebut disebabkan oleh 3 faktor: 1) Daya serap anggaran yang dialokasikan oleh Depsos ke Dinkesos pada 2007 relatif kurang yang tidak mencapai 100 persen. Hal ini berarti terdapatnya sisa anggaran yang tidak digunakan, dibuktikan dengan dana bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR) korban bencana alam di Kabupaten Sangihe terdapat kurang lebih Rp2,4 miliar yang tidak digunakan sehingga diusulkan kembali 2008, dampaknya pencapaian target dan tujuan fungsional kegiatan perbaikan rumah yang dilaksanakan secara gotong royong oleh masyarakat korban bencana alam yang seharusnya mereka telah melaksanakan perbaikan rumah dan menempatinya pada 2007 lalu tidak tercapai, 2) Kurangnya membina hubungan yang baik dan harmonis pejabat Dinkesos dengan Depsos. Hal ini dipengaruhi oleh penempatan pejabat yang tidak sesuai, yang seharusnya penempatan pejabat menganut prinsip the right man on the righ job. Terkait dengan hal tersebut terdapat 2 hal yang mungkin lupa diperhatikan oleh pejabat Dinkesos Provinsi Sulut ialah membina hubungan secara organik fungsional dan hubungan mekanik emosional dengan Depsos pusat. Karena secara fungsional Dinkesos adalah sebagai perpanjangan tangan Depsos pusat dalam melaksanakan Prokesos di Sulut. Selain itu sebagian besar pejabat pada Dinkesos secara emosional mempunyai latarbelakang profesi yang sama yaitu lahir dalam arti diterima sebagai PNS, dibesarkan, dilatih/didik melalui berbagai pelatihan tehnis fungsional dan berkarier pada Depsos sebelum pelaksanaan otonomi daerah. Kedua kekuatan ini bila dipadukan maka akan terbangun sinergitas yang kuat antara Dinkesos Sulut dan Depsos pusat, sedangkan faktor yang terakhir ke, 3) pelaksanaan Prokesos tidak sesuai dengan prinsip, metode dan pendekatan profesi pekerjaan sosial. Faktor inilah yang paling dominan pengaruhnya terkait dengan pemotongan anggaran yang dilaksanakan oleh Depsos. Karena prinsip, metode dan pendekatan profesi pekerjaan sosial merupakan harga mati yang selalu diharapkan dan diingatkan oleh pejabat Depsos bila melaksanakan pembinaan/moneva bahkan pengawasan fungsional yang tidak boleh terabaikan. Penerapan prinsip dalam praktek pekerjaan sosial difokuskan pada 4 bidang nilai yang mendasarinya: 1) kepercayaan terhadap keunikan dan keterikatan martabat individu (human dignity), 2) kepercayaan pada hak menentukan nasib sendiri dari klien (self termination), 3) kepercayaan pada azas kesempatan yang sama dari klien (equal opportunity), 4) kepercayaan pada asas tanggung jawab sosial (social responsibility). Metode pekerjaan sosial berkaitan dengan cara penanganan PMKS melalui langkah-langkah tepat sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku diawali dengan pendataan, seleksi dan motivasi, assessment, bimbingan sosial keterampilan, yang dilanjutkan dengan pemberian bantuan sosial dan langkah terakhir monitoring dan evaluasi (Moneva). Sedangkan pendekatan profesi pekerjaan sosial terkait dengan kemampuan manajerial dan teknis pimpinan untuk menentukan apakah Prokesos dilaksanakan secara individu (case work), kelompok (group work) dan masyarakat (community organization) yang dilandasi dengan keahlian (exspertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness) di mana ketiga ciri tersebut merupakan bingkai besar dari sebuah profesi pekerjaan sosial yang harus dilaksanakan. Memang menjadi sebuah dilematis sebagai pekerja sosial profesional bahwa anggapan sebagian orang dalam memberikan bantuan sosial kepada PMKS bersifat charity semata yaitu perbuatan yang dilaksanakan atas dasar kemurahan hati untuk menolong sesama manusia. Pandangan charity ini dipelopori oleh kaum agamawan yang mempunyai pendapat bahwa pada hakekatnya keinginan untuk menolong, membantu meringankan penderitaan sesama manusia telah mendarah daging dalam diri manusia, sifat ini yang dikenal sebagai altruist, berbagai agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk berbuat kebajikan sebagai suatu pencerminan keyakinan umatnya, akan tetapi dalam pendekatan profesi pekerjaan sosial tidaklah demikian sasarannya difokuskan untuk mengadakan perubahan perilaku yang dilaksanakan secara berencana, sistematis dan berkesinambungan. Oleh karena itu pendekatan profesi pekerjaan sosial dalam membantu PMKS telah menjadi pendekatan institusional. Pendekatan institusional ialah empowerment. Penggunaan kata empowerment diterjemahkan menjadi pemberdayaan. Menurut Marriam Webster dan oxford English Distionary kata “to empower” mengandung dua arti: 1) To give power or authority to, yang artinya memberi kekuasaan atau kewenangan (atau mendelegasikan otoritas) kepada (pihak lain, 2) To give ability or enable to, yang artinya memampukan (memberi kesanggupan) atau memungkinkan untuk semakin berdaya. Pemberdayaan PMKS adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang lemah yang dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, keterbelakangan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, dengan kata lain memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian. Kemandirian akan dapat dicapai apabila PMKS melibatkan diri dalam proses yang dilaksanakan melalui power yang dimilikinya. Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi (breakdown) hubungan antara subjek dan objek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subjek atas kemampuan atau power yang dimilki objek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya transfer kekuasaan (flow of power) dari subjek ke objek. Pemberian kuasa, kebebasan dan pengakuan dari subjek ke objek dengan memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumberdaya tersebut. Pada akhirnya kemampuan PMKS untuk dapat mewujudkan harapannya, dengan pemberian pengakuan oleh subjek merupakan bukti bahwa individu tersebut memiliki kekuasaan/daya. Dengan demikian profesi pekerjaan sosial bukanlah pekerjaan biasa, tetapi pekerjaan khusus (vocation) yang hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai keahlian (exspertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan keterampilan (skill) untuk membantu para penyandang masalah kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pemotongan anggaran sebesar Rp11 miliar dana dekonsentrasi tidaklah menjadi alasan menurunnya eksistensi pekerja sosial untuk melaksanakan pelayanan kepada PMKS. Tetapi hal ini setidaknya menjadi pemikiran bagi para otoritas dalam mengambil kebijaksanaan dan keputusan untuk menempatkan dan mengangkat pejabat pada Dinkesos memperhatikan latar belakang profesi pekerja sosial. Pengalaman telah membuktikan bahwa top leader Dinkesos apabila dinahkodai oleh seorang yang berlatarbelakang profesi pekerja sosial berpengaruh besar terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan dan pencapaian target fungsional pelaksanaan prokesos. Dari hasil pengamatan penulis zaman keemasan Dinkesos Sulut dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir ialah di bawah kepemimpinan Drs Johny Runtu yang berprofesi sebagai pekerja sosial, penilaian ini tidaklah bersifat subjektif semata tetapi berdasarkan data dan fakta bahwa di bawah kempemimpinan beliaulah angka tertinggi anggaran Dana Dekonsentrasi yang dikelola Dinkesos Sulut mencapai kurang lebih Rp70 miliar pada 2003. Di sinilah kepiawaian seorang pekerja sosial membangun dan melaksanakan hubungan yang baik dan harmonis dengan Depsos pusat. Dan Depsos pusat juga menghargai hubungan dengan memberikan dana yang sangat besar jumlahnya. Karena dalam pelaksanaannya Depsos sebagai pemberi dana mengetahui yang tentunya pelaksanaan prokesos akan menggunakan prinsip, metode, dan pendekatan profesi pekerjaan sosial, berbeda dengan pimpinan yang tidak memiliki latar belakang sebagai pekerja sosial pelaksanaannya jauh dari yang diharapkan, bantuan kepada PMKS mengabaikan pendekatan profesi pekerjaan sosial, memang latarbelakang pendidikan, keahlian, keterampilan dan pengalaman seseorang apapun alasannya sangat mempengaruhi perilaku kepemimpinannya dalam menakhodai sebuah institusi. Oleh karena itu di masa yang akan datang pengakuan eksistensi profesi pekerja sosial akan semakin nyata dengan memberikan kepercayaan kepada birokrat yang berprofesi pekerja sosial atau minimal birokrat yang berlatarbelakangnya dari ilmu sosial yang telah memenuhi syarat yang ditentukan untuk menakhodai lembaga yang namanya Dinas Kesejahteraan Sosial. Semoga demikian.#

* Pemerhati Masalah Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial