Oleh dr Taufiq Pasiak
BEBERAPA hari lalu, saya mengalami peristiwa yang membuat saya lebih mengerti tentang hidup. Peristiwa ini sesungguhnya sederhana, bahkan terlampau sederhana bagi sejumlah orang. Saking sederhananya, sejumlah orang merasa ini sebagai peristiwa biasa yang dapat berlalu begitu saja. Dengan ketersediaan waktu yang terbatas, dan harus bergerak dari satu tempat yang jauh, sementara ketika itu saya sedang melakukan aktivitas mengajar yang padat, saya pergi ke suatu tempat yang sebenarnya rutin saya kunjungi, yakni tempat sekolah anak perempuan saya. Apa yang saya lakukan di tempat itu tidak seperti lazimnya saya mengantar dia sekolah; saya harus berdiri di depan kelas, di hadapan kawan-kawannya yang lucu-lucu dan lugu, tersenyum, dan kemudian meniup lilin kecil yang ada di atas kue tart. Anak saya sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-7. Tahun-tahun sebelumnya kami merayakan di rumah saja yang diisi dengan berdoa bersama dan ditutup dengan makan mie goreng dan kue biapong berisi kacang. Kali ini, ucapan syukur ulang tahun itu dibikin di sekolahnya dengan persiapan yang –menurut pendapat seorang bapak seperti saya— sangat rumit dan melelahkan.
2 hari setelah pesta ulang tahun yang menyita waktu mengajar itu, saya harus berjalan di tengah hujan deras, naik gunung yang sangat menanjak, terjal dan licin, untuk menjemput anak-anak saya yang mengaji. Untuk kegiatan penjemputan ini harus terbuang waktu setengah jam dari waktu praktik saya sebagai dokter dengan konsekuensi sejumlah pasien yang menumpuk. Hingga saat ini paha depan saya masih terasa sakit karena harus 3 kali bolak-balik menaiki gunung dan memegang mereka satu persatu untuk menuntun sampai di tempat yang rata. 2 jam setelah basah diguyur hujan itu badan saya mulai terasa panas dan pegal-pegal. Rupanya, peristiwa ini belum tuntas. Keesokan harinya saya harus mengantar anak perempuan ini ke sekolah karena orang yang biasa mengantarnya tidak datang pada hari itu. Andai tidak ada kesibukan lain, kegiatan mengantar anak ini sesungguhnya peristiwa yang menyenangkan.
Ada banyak pelajaran yang saya peroleh dari beberapa peristiwa yang mungkin bagi orang lain sangat sederhana itu; saya merasakan langsung bahwa mengurus anak itu bukanlah pekerjaan sederhana. Dibandingkan dengan mengajar atau berpraktik sebagai dokter mengurus anak itu butuh ilmu dan seni melebihi pekerjaan lain. Tidak seperti pada mahasiswa atau pasien saya, dengan anak saya memiliki kaitan emosional yang sangat tinggi. Kalau pada pasien saya diajarkan untuk berempati (merabarasakan apa yang dia rasakan, tetapi tanpa terlibat secara emosional), maka terhadap anak saya harus bersimpati (merasakan dan terlibat secara emosional). Mereka adalah belahan jiwa dan tubuh orang tua sehingga apa yang mereka rasakan turut menjadi bagian apa yang saya rasakan. Ketika anak tertua saya gagal memperoleh juara melukis, padahal ia yakin lukisan yang dia bikin itu sangat baik dan istimewa, perasaan saya juga nelangsa seperti perasaan yang dia rasakan. Dan ketika dia menangis, tanpa sadar saya juga turut menangis meskipun sebagai bapak saya tidak tunjukan perasaan itu. Soal mengurus anak saya belajar dari banyak orang, terutama bagaimana orang tua kami mendidik anak-anaknya. Meskipun apa yang kami butuhkan tersedia, termasuk menyediakan lingkungan yang laik untuk tumbuh, tetapi ibu bapak kami melakukan kegiatan yang sepertinya tidak lazim bagi sejumlah orang tertentu; berdoa. Setelah saya dewasa, kawin dan memiliki anak, saya betul-betul sadar bahwa kegiatan ini memberikan kontribusi paling besar sehingga kami menjadi anak-anak yang tidak pernah memalukan orang tua. Meskipun kami tinggal di sebuah wilayah yang sangat potensial membentuk remaja dengan kenakalan tertentu. Mengapa saya menyentil soal doa? Bukankah dengan uang yang cukup, fasilitas yang mewah, lingkungan pergaulan yang mewah, dan akses tak terbatas pada semua kebutuhan dan keinginan, telah cukup menjadi modal membentuk seorang anak yang baik, seperti laiknya saya temukan pada kawan-kawan pejabat dan pengusaha? Apa yang cermati kemudian menunjukkan bahwa hal-hal yang saya sebut di atas ternyata tidak cukup untuk membentuk seorang anak yang baik. Ada faktor subjektif dan di luar kendali yang memberikan pengaruh besar. Berdoa boleh jadi adalah semacam booster (penguat) untuk mengantisipasi hal-hal di luar kendali itu. Sekali lagi, mengapa doa? Karena saya pernah mendapati sebuah keluarga yang dalam 20 tahun masa hidup anak-anaknya tidak pernah sekalipun memanjatkan doa untuk kebajikan anak-anaknya. Walhasil, anak-anak itu tumbuh dalam perkembangan diri yang tak wajar.
Saya belum tahu bagaimana situasi pribadi anak-anak saya di kemudian hari. Namun, berkaca dari pengalaman orang tua doa, pendidikan yang laik, pergaulan yang baik dan intervensi terbatas merupakan cara jitu membesarkan anak. Meskipun Kahlil Gibran, penyair Libanon terkenal, pernah menyatakan bahwa //anak-anakmu bukanlah anak-anakmu//mereka adalah putra-putri kehidupan//mereka berasal darimu//tapi bukan milikmu//, tetapi bagi saya anak-anak tidak pernah terpisah dari orang tua. Intervensi terbatas harus menjadi bagian penting dari proses perkembangan. Anda tidak usah kaget kalau kemudian melihat saya di setiap tempat bergandengan dengan 1 atau 2 anak saya. Ini intervensi terbatas yang harus saya lakukan. Saya adalah role model mereka. Ketika saya berbuat salah, maka mereka melihat dan mencontek perilaku saya. Ketika saya melakukan tindakan tertentu, maka mereka melihat bagaimana saya memilih tindakan itu. Ajaib bin aneh kalau kemudian ada orang tua yang mengharapkan sang anak memiliki perilaku tertentu, tetapi sebagai role model ia tidak menunjukkan perilaku itu. Kita jangan terlalu jauh mengharapkan anak kita menjadi orang yang jujur dan adil sementara kita —entah sadar atau tidak— melakukan perbuatan tidak jujur dan tidak adil. Ikhtiar saya —usaha keras yang saya lakukan untuk kebaikan anak-anak saya— merupakan upaya yang tak kenal lelah, bahkan melebihi perjuangan saya menjadi dokter.
Pelajaran kedua yang saya dapat dari peristiwa-peristiwa di atas adalah keyakinan yang makin kuat bahwa anak-anak adalah investasi yang tak ternilai harganya. Ketika saya dengan sangat telaten menjaga mobil dan rumah saya, maka ketelatenan itu harus jauh lebih besar ketika menjaga anak-anak saya. Sebagai investasi, mereka bernilai tinggi bagi kehidupan dunia dan akhirat saya. Frame berpikir inilah yang membuat saya sempat berpikir untuk mendidik mereka secara langsung, mungkin dalam bentuk sebuah home schooling. Meskipun lingkungan sekolah yang sistematik itu penting, tetapi jauh lebih penting kalau saya bisa mendidik mereka secara langsung. Saya bisa menata pikiran, emosi dan kecakapan spiritual mereka melebihi yang diberikan sekolah formal dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini. Anda mau bergabung dengan saya? (11.04.08).#
Oleh dr Taufiq Pasiak
BEBERAPA hari lalu, saya mengalami peristiwa yang membuat saya lebih mengerti tentang hidup. Peristiwa ini sesungguhnya sederhana, bahkan terlampau sederhana bagi sejumlah orang. Saking sederhananya, sejumlah orang merasa ini sebagai peristiwa biasa yang dapat berlalu begitu saja. Dengan ketersediaan waktu yang terbatas, dan harus bergerak dari satu tempat yang jauh, sementara ketika itu saya sedang melakukan aktivitas mengajar yang padat, saya pergi ke suatu tempat yang sebenarnya rutin saya kunjungi, yakni tempat sekolah anak perempuan saya. Apa yang saya lakukan di tempat itu tidak seperti lazimnya saya mengantar dia sekolah; saya harus berdiri di depan kelas, di hadapan kawan-kawannya yang lucu-lucu dan lugu, tersenyum, dan kemudian meniup lilin kecil yang ada di atas kue tart. Anak saya sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-7. Tahun-tahun sebelumnya kami merayakan di rumah saja yang diisi dengan berdoa bersama dan ditutup dengan makan mie goreng dan kue biapong berisi kacang. Kali ini, ucapan syukur ulang tahun itu dibikin di sekolahnya dengan persiapan yang –menurut pendapat seorang bapak seperti saya— sangat rumit dan melelahkan.
2 hari setelah pesta ulang tahun yang menyita waktu mengajar itu, saya harus berjalan di tengah hujan deras, naik gunung yang sangat menanjak, terjal dan licin, untuk menjemput anak-anak saya yang mengaji. Untuk kegiatan penjemputan ini harus terbuang waktu setengah jam dari waktu praktik saya sebagai dokter dengan konsekuensi sejumlah pasien yang menumpuk. Hingga saat ini paha depan saya masih terasa sakit karena harus 3 kali bolak-balik menaiki gunung dan memegang mereka satu persatu untuk menuntun sampai di tempat yang rata. 2 jam setelah basah diguyur hujan itu badan saya mulai terasa panas dan pegal-pegal. Rupanya, peristiwa ini belum tuntas. Keesokan harinya saya harus mengantar anak perempuan ini ke sekolah karena orang yang biasa mengantarnya tidak datang pada hari itu. Andai tidak ada kesibukan lain, kegiatan mengantar anak ini sesungguhnya peristiwa yang menyenangkan.
Ada banyak pelajaran yang saya peroleh dari beberapa peristiwa yang mungkin bagi orang lain sangat sederhana itu; saya merasakan langsung bahwa mengurus anak itu bukanlah pekerjaan sederhana. Dibandingkan dengan mengajar atau berpraktik sebagai dokter mengurus anak itu butuh ilmu dan seni melebihi pekerjaan lain. Tidak seperti pada mahasiswa atau pasien saya, dengan anak saya memiliki kaitan emosional yang sangat tinggi. Kalau pada pasien saya diajarkan untuk berempati (merabarasakan apa yang dia rasakan, tetapi tanpa terlibat secara emosional), maka terhadap anak saya harus bersimpati (merasakan dan terlibat secara emosional). Mereka adalah belahan jiwa dan tubuh orang tua sehingga apa yang mereka rasakan turut menjadi bagian apa yang saya rasakan. Ketika anak tertua saya gagal memperoleh juara melukis, padahal ia yakin lukisan yang dia bikin itu sangat baik dan istimewa, perasaan saya juga nelangsa seperti perasaan yang dia rasakan. Dan ketika dia menangis, tanpa sadar saya juga turut menangis meskipun sebagai bapak saya tidak tunjukan perasaan itu. Soal mengurus anak saya belajar dari banyak orang, terutama bagaimana orang tua kami mendidik anak-anaknya. Meskipun apa yang kami butuhkan tersedia, termasuk menyediakan lingkungan yang laik untuk tumbuh, tetapi ibu bapak kami melakukan kegiatan yang sepertinya tidak lazim bagi sejumlah orang tertentu; berdoa. Setelah saya dewasa, kawin dan memiliki anak, saya betul-betul sadar bahwa kegiatan ini memberikan kontribusi paling besar sehingga kami menjadi anak-anak yang tidak pernah memalukan orang tua. Meskipun kami tinggal di sebuah wilayah yang sangat potensial membentuk remaja dengan kenakalan tertentu. Mengapa saya menyentil soal doa? Bukankah dengan uang yang cukup, fasilitas yang mewah, lingkungan pergaulan yang mewah, dan akses tak terbatas pada semua kebutuhan dan keinginan, telah cukup menjadi modal membentuk seorang anak yang baik, seperti laiknya saya temukan pada kawan-kawan pejabat dan pengusaha? Apa yang cermati kemudian menunjukkan bahwa hal-hal yang saya sebut di atas ternyata tidak cukup untuk membentuk seorang anak yang baik. Ada faktor subjektif dan di luar kendali yang memberikan pengaruh besar. Berdoa boleh jadi adalah semacam booster (penguat) untuk mengantisipasi hal-hal di luar kendali itu. Sekali lagi, mengapa doa? Karena saya pernah mendapati sebuah keluarga yang dalam 20 tahun masa hidup anak-anaknya tidak pernah sekalipun memanjatkan doa untuk kebajikan anak-anaknya. Walhasil, anak-anak itu tumbuh dalam perkembangan diri yang tak wajar.
Saya belum tahu bagaimana situasi pribadi anak-anak saya di kemudian hari. Namun, berkaca dari pengalaman orang tua doa, pendidikan yang laik, pergaulan yang baik dan intervensi terbatas merupakan cara jitu membesarkan anak. Meskipun Kahlil Gibran, penyair Libanon terkenal, pernah menyatakan bahwa //anak-anakmu bukanlah anak-anakmu//mereka adalah putra-putri kehidupan//mereka berasal darimu//tapi bukan milikmu//, tetapi bagi saya anak-anak tidak pernah terpisah dari orang tua. Intervensi terbatas harus menjadi bagian penting dari proses perkembangan. Anda tidak usah kaget kalau kemudian melihat saya di setiap tempat bergandengan dengan 1 atau 2 anak saya. Ini intervensi terbatas yang harus saya lakukan. Saya adalah role model mereka. Ketika saya berbuat salah, maka mereka melihat dan mencontek perilaku saya. Ketika saya melakukan tindakan tertentu, maka mereka melihat bagaimana saya memilih tindakan itu. Ajaib bin aneh kalau kemudian ada orang tua yang mengharapkan sang anak memiliki perilaku tertentu, tetapi sebagai role model ia tidak menunjukkan perilaku itu. Kita jangan terlalu jauh mengharapkan anak kita menjadi orang yang jujur dan adil sementara kita —entah sadar atau tidak— melakukan perbuatan tidak jujur dan tidak adil. Ikhtiar saya —usaha keras yang saya lakukan untuk kebaikan anak-anak saya— merupakan upaya yang tak kenal lelah, bahkan melebihi perjuangan saya menjadi dokter.
Pelajaran kedua yang saya dapat dari peristiwa-peristiwa di atas adalah keyakinan yang makin kuat bahwa anak-anak adalah investasi yang tak ternilai harganya. Ketika saya dengan sangat telaten menjaga mobil dan rumah saya, maka ketelatenan itu harus jauh lebih besar ketika menjaga anak-anak saya. Sebagai investasi, mereka bernilai tinggi bagi kehidupan dunia dan akhirat saya. Frame berpikir inilah yang membuat saya sempat berpikir untuk mendidik mereka secara langsung, mungkin dalam bentuk sebuah home schooling. Meskipun lingkungan sekolah yang sistematik itu penting, tetapi jauh lebih penting kalau saya bisa mendidik mereka secara langsung. Saya bisa menata pikiran, emosi dan kecakapan spiritual mereka melebihi yang diberikan sekolah formal dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini. Anda mau bergabung dengan saya? (11.04.08).#