Oleh Sri Hardiyanti
BERBAGAI fakta tentang bencana kekeringan lalu banjir belakangan ini memberi konfirmasi tentang makin berkembangnya mata rantai penghancuran lingkungan. Penggundulan hutan dan penggunaan energi fosil yang melebih daya pulih alam telah memicu pemanasan global. Lalu berdampak pada perubahan iklim yang ekstrem, dan pada akhirnya berbalik lagi memicu peningkatan frekuensi dan kedahsyatan kejadian bencana alam. Dampaknya jelas: banjir, longsor dan kekeringan melanda kawasan Afrika, Amerika Latin, Asia, kawasan Dumoga, Tanawangko, Manado, Sangihe dan Gorontalo. Tragisnya, sungguhpun pemberitaan di media massa dan kampanye penyadartahuan tentang kondisi ini sudah banyak disampaikan, namun belum ada langkah-langkah strategis pemerintah untuk mengatasinya. Paling banter adalah penyediaan bantuan makanan, penampungan sementara, dan obat-obatan seadanya.
Bencana akibat perubahan iklim tidak hanya menghancurkan harta dan jiwa manusia. Tetapi juga berdampak panjang berupa pemiskinan terhadap siapapun yang mengalaminya, baik laki maupun perempuan. Namun demikian, tidak banyak yang mau melihat bahwa perempuanlah yang menuai dampak terburuk akibat bencana yang dipicu oleh perubahan iklim. Padahal berbagai fakta menunjukkan bencana alam selalu memunculkan dampak yang sangat berbeda bagi laki-laki maupun perempuan.
AKSES TERHADAP KEBUTUHAN DASAR
Bencana Tsunami di Aceh dan Pangandaran, bencana gempa di Jogya maupun berbagai bencana banjir di banyak tempat sepanjang awal 2008 misalnya, menunjukkan jumlah korban perempuan meninggal lebih banyak dari laki-laki. Di kota Banda Banda Aceh sekitar 55 persen korban meninggal adalah perempuan, sedangkan di kampung Kuala Cangkoy, di utara Banda Aceh, jumlahnya malah mencapai 80 persen. Dalam kasus banjir di Tanawangko 2006, yang meninggal memang satu perempuan. Namun yang merasakan beban lebih besar adalah perempuan. Pada satu sisi mereka harus melayani keluarga, pada sisi yang lain menjadi pihak yang tidak diperhatikan kepentingannya, terutama kepentingan kesehatan reproduksi, air bersih, kebutuhan gizi hingga soal kamar mandi yang lebih tertutup.
Situasi yang dihadapi perempuan dalam berbagai bencana alam selalu menghadirkan dua dimensi masalah yang makin memperparah ketidakadilan gender. Pertama, situasi sosio-kultural yang patriarkal telah mengakibatkan perempuan menjadi tidak memiliki pengetahuan, keterampilan, dan modal dalam menghadapi masalah bencana yang bersumber perubahan iklim. Mereka selalu ditempatkan pada posisi marginal sehingga tidak pernah terlatih secara motorik dalam menghadapi situasi terburuk. Kedua, kebijakan negara telah menutup akses dan kontrol perempuan terhadap informasi dan keputusan tentang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Kedua hal ini mengakibatkan perempuan menjadi lebih rentan terhadap dampak bencana yang bersumber pada perubahan iklim.
PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN BISU
Perkembangan akhir-akhir ini makin memberikan penegasan bahwa percepatan fenomena perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global berjalan seiring dengan pemiskinan dan penyempitan ruang-ruang gerak perempuan. Banyak perempuan yang setiap hari harus bekerja mengolah kebun atau bertanggungjawab menyediakan pangan, air dan energi di dalam keluarga. Namun mereka tidak pernah bisa ikut memutuskan dan mengontrol proses dan hasil pengelolaan sumberdaya alam itu digunakan. Bahkan tidak memiliki peluang mempengaruhi keputusan tata ruang dan alokasi kawasan sumberdaya alam.
Mengapa perempuan tidak bisa mengontrol keputusan? Dalam kasus bencana kekeringan, deforestasi, banjir dan curah hujan yang tidak menentu, banyak perempuan miskin yang pada akhirnya harus bekerja lebih keras lagi untuk memastikan tersedianya sumber-sumber penghidupan keluarga. Sangat sedikit waktu untuk mendapatkan pendidikan dan terlibat dalam berbagai urusan sosial, ekonomi dan politik. Akibatnya mereka menjadi tidak terbiasa terlibat dalam pengambilan keputusan maupun dalam mengontrol kekuasaan. Mereka pun akhirnya menjadi korban bisu dari kebijakan dan perubahan iklim.
Di hampir semua komunitas, perempuan masih mengalami ketidakadilan akses terhadap informasi, padahal informasi merupakan modal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Saat terjadi bencana alam misalnya, perempuan perempuan tidak banyak mendapatkan informasi atau peringatan dini. Padahal banyak di antara mereka yang tidak dapat berenang, tidak dapat meninggalkan rumah sendiri serta harus menyelamatkan anak-anaknya pula. Akibatnya lebih banyak perempuan yang menjadi korban meninggal dibandingkan laki-laki. Ini jelas menunjukan bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim telah memperparah ketidakadilan gender.
TAK TERSENTUH KEBIJAKAN
Perempuan memang bukan hanya berbeda dalam hal menerima dampak namun juga dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dampak perubahan iklim membebani masyarakat secara tidak proporsional. Dampak terbesar akan jatuh pada negara berkembang dan mereka yang termiskin di dalam negara itu. Di lingkungan masyarakat miskin, perempuan adalah yang termiskin, dan oleh karena itu mereka menjadi pihak yang paling rentan terhadap bencana alam. Studi London School of Economics 2007, yang menganalisis bencana di 141 negara, membuktikan bahwa perbedaan jumlah kematian perempuan karena bencana alam berkaitan langsung dengan hak-hak ekonomi dan sosial mereka.
Walau demikian, hingga kini alat utama pemerintah menghadapi perubahan iklim hanyalah mitigasi bencana. Juga ada wacana untuk mengurangi kecepatan pemanasan global serta langkah-langkah adaptasi untuk mengurangi dampaknya. Namun sekali lagi semua itu masih bersifat normatif, sulit diimplementasikan. Bahkan pemerintah bisa disebut telah gagal memperhitungkan aspek keadilan gender dalam mengatasi perubahan iklim yang berkorelasi dengan bencana lingkungan.
Perubahan iklim sebetulnya sudah menjadi agenda prioritas internasional, namun kesadaran terhadap kelompok minoritas dan terpinggirkan tetap saja tidak ada. Negosiasi antar negara tentang perubahan iklim di dalam United Nations Framework Convetions on Climate Change (UNFCCC) di Bali Desember 2007 misalnya, secara sempit hanya berfokus pada pengurangan emisi CO2. Tidak memperhatikan dampak sosial perubahan iklim terhadap perempuan. Saat itu hanya ada empat dari 14 Rencana Aksi Adaptasi Nasional yang menyebutkan pentingnya keadilan gender. PBB pun mengakui laporan perubahan iklim dari berbagai negara tidak menyebutkan adanya pertimbangan sosial dan keadilan gender. Sama halnya dengan laporan PBB tentang capaian Millennium Development Goals (MDGs) 2007, tidak terlihat keterkaitan antara keadilan gender, eradikasi kemiskinan, keberlanjutan sumberdaya alam.
APA YANG DAPAT DILAKUKAN?
Institusi pemerintah serta pemangku kepentingan seharusnya dapat memastikan bahwa keadilan gender merupakan hal penting utama dalam setiap inisiatif mengatasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Jika tidak, maka perubahan iklim menjadi faktor yang makin memperparah kemiskinan dan hancurnya sumber-sumber kehidupan bersama.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan ke arah ini. Pertama, perlu perubahan paradigma pada penentu kebijakan untuk tidak lagi menempatkan perempuan sebagai korban bisu. Harus melihatnya secara positif sebagai agen perubahan. Sebab mandat reproduksi yang dibebankan sosial kepada perempuan sesungguhnya telah menjadikan perempuan menjadi entitas yang sangat bertanggungjawab terhadap kesejahteraan keluarga, komunitas dan pengelolaan sumberdaya alam. Situasi ini sesungguhnya menempatkan mereka pada posisi yang sangat tepat untuk membangun strategi mengatasi perubahan-perubahan lingkungan.
Di Aceh dan Tanawangko misalnya, kita dapat melihat banyak contoh di mana komunitas dapat mengatasi bencana alam bila perempuan berperan sebagai pemimpin atau berperan besar dalam sistem peringatan dini dan rekonstruksi. Kebiasaan perempuan yang bekerja sebagai pengatur kehidupan dalam keluarga membuat mereka lebih mudah membagi informasi yang berkaitan dengan kesejahteraan dan keamanan komunitas. Mudah beradaptasi secara lebih baik terhadap perubahan lingkungan terutama bila keberlanjutan keluarganya dipertaruhkan.
Kedua, perlu melakukan analisis gender pada setiap kebijakan, program dan budget yang berkaitan dengan perubahan iklim baik nasional maupun di tingkat provinsi. Sebagai contoh, perlu dibuat penilaian apakah keadilan gender sudah diperhitungkan dalam kebijakan nasional dan provinsi yang berkaitan dengan perubahan iklim. Ketiga, memastikan keterlibatan aktif perempuan dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan memiliki akses dan kontrol terhadap keputusan tersebut. Artinya perencanaan kebijakan pemerintah berkaitan dengan mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim harus mengintegrasikan suara perempuan sejak awal, bukan hanya menempatkan kepentingan perempuan sebagai salah satu poin perencanaan aksi.
Langkah yang keempat adalah, meniadakan kebijakan yang memberi legitimasi bagi penghancuran lingkungan, terutama pada sektor industri ekstraktif seperti pertambangan, kehutanan, kelautan dan pertanian, yang selama ini memberi sumbangsih terhadap penghancuran sumber-sumber kehidupan perempuan. Langkah berikutnya adalah, membuat indikator yang sensitif gender untuk digunakan dalam setiap laporan pemerintah berkaitan dengan UNFCCC, Kyoto Protocol, dan Clean Development Mechanism (CDM). Langkah-langkah ini perlu diikuti dengan langkah keenam, yaitu membuat alat-alat praktis yang dapat mengintegrasikan keadilan gender dalam setiap inisiatif perubahan iklim. Misalnya, membuat mekanisme yang dapat dipakai perempuan mengakses informasi maupun teknologi energi terbarukan.#
*Psikolog dan Direktur Eksekutif Lestari