Oleh Jones Oroh*
LEBIH dari 23 tahun HIV-AIDS mengglobal termasuk 20 tahun di Indonesia dan 10 tahun hadir di Sulut. Tapi apa yang terjadi sekarang? HIV-AIDS makin mendunia, makin membumi di Indonesia dan makin menjamur di Sulawesi Utara. Prevalensinya terus naik seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju.
Jika ditilik jauh ke belakang, sebenarnya upaya pencegahan dan penanggulangan secara sistematis telah dimulai sejak 1994. Namun, perkembangan kasusnya terus meningkat disertai dengan tingkat penyebarannya yang juga semakin meluas. Jika 5 tahun lalu HIV-AIDS hanya menjadi bagian kelompok berisiko tinggi, saat ini HIV-AIDS telah hinggap ke komunitas yang tergolong aman, seperti ibu rumah tangga, mahasiswa/pelajar, maupun Balita. Dari kota hingga pedesaan.
Untuk diketahui, dari data 319 penderita yang ditemukan sampai Februari 2008, 27 di antaranya adalah mahasiswa, 2 petani, 4 PNS dan 81 pekerja swasta. Sedangkan 1 dari 5 penderita ini adalah ibu rumah tangga dan 13 penderita lainnya masih Balita. Dengan kata lain, HIV-AIDS bukan lagi masalah Pekerja Seks Komersil (PSK), pengguna jarum suntik (IDU), dan lelaki hidung belang. Tapi HIV-AIDS telah menjadi persoalan semua lapisan masyarakat yang harus secepatnya ditanggulangi bukan untuk dipetieskan terutama oleh para pemimpin yang ada di semua segmen. Secara nasional ahli epidemiologi dalam kajiannya memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan, maka pada 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Sedangkan penularan dari ibu ke anak akan mencapai 38.500 kasus.
MENGAPA MASIH PANDEMI?
Realita membuktikan bahwa telah lebih dari 2 dekade penyakit yang belum ditemukan penangkalnya ini terus berkembang dan menjadi pandemi meski telah ada upaya penanggulangannya. Banyak faktor yang memungkinkan realita ini terjadi. Mulai dari terbentuknya stigma dan diskriminasi terhadap penderita akibat kepercayaan terhadap mitos-mitos HIV-AIDS, kekakuan masyarakat untuk membicarakan masalah ini secara terbuka sehingga HIV-AIDS dipandang sebagai masalah kelompok termarginal. Kesulitan ekonomi yang menyebabkan banyak perilaku berisiko terinfeksi terbentuk. Di samping itu program yang digalakkan selama ini tidak optimal, karena yang bergerak hanyalah lapisan masyarakat menengah ke bawah dan tidak ditopang secara serius oleh para pemimpin, baik yang ada di eksekutif, legislatif, serta organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Serta secara umum diakui bahwa kesadaran masyarakat terhadap bahaya HIV-AIDS belum sepenuhnya terbentuk, sehingga berbagai perilaku berisiko tertular maupun menularkan terus terpelihara.
Faktor-faktor ini menurut penulis disebabkan oleh beberapa hal seperti implementasi program oleh instansi terkait dan LSM yang berjalan sendiri-sendiri tanpa terakomodir, ketersediaan anggaran dari pemerintah yang relatif kecil dan tidak seimbang dengan kegiatan program sehingga hanya bergantung pada bantuan lembaga donor, serta kurangnya sumber daya kepemimpinan yang mengakibatkan keberadaan Komisi Penanggulangan AIDS di daerah tidak optimal. Semua ini terjadi karena latar belakang alasan yang sama yaitu bahwa HIV-AIDS bukan merupakan suatu ancaman sehingga tidak diprioritaskan penanganannya. Seandainya ada kegiatan, tidak dipandang sebagai suatu program melainkan sebuah proyek yang dapat menghasilkan rupiah. Di samping itu pelaksanaan program penanggulangan menjadi kurang efektif karena tidak ditunjang oleh konsep bersama dan payung hukum yang jelas dari pemerintah di setiap daerah.
Pengalaman di 2007 telah membuktikan betapa lemahnya koordinasi dan kurangnya respons dari instansi terkait di KPAP Sulut meski ketuanya begitu antusias menerjemahkan program untuk menghentikan laju pandemi ini. Sebagai contoh, ketika bantuan lembaga donor The Global Fund terhenti pada Maret hingga September 2007 lalu, otomatis implementasi programnya di seluruh Indonesia termasuk Sulut juga terhenti. Mulai dari penjangkauan sampai pelayanan klinik VCT atau konseling dan tes sukarela. Padahal keadaan ini sangat berpengaruh pada keberadaan kelompok dampingan termasuk ODHA dan OHIDHA. Meski demikian, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait seperti menutup mata dan tidak ada langkah untuk mengantisipasi kelanjutan program. Begitu juga dengan kalangan legislatif yang lebih memilih sibuk dengan studi banding ketimbang mengurus (bahkan melihat pun tidak) program yang terhenti tersebut. Beruntung lembaga ini menyambung kembali bantuannya, sehingga program dapat berjalan seperti semula. Bisa dibayangkan seandainya bantuan ini tidak lagi dilanjutkan.
PERLU PEDOMAN DASAR
Secara nasional sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya untuk menyatukan persepsi dan penanganan masalah ini lewat menciptakan sebuah rumusan sebagai pedoman dasar yang dinamai Strategi Nasional (Stranas) Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia yang sudah ada sejak 2004. Namun karena terjadi perubahan sistem pemerintahan menjadi otonomi, Stranas diperbaharui menjadi Stranas 2003-2007. Pelaksanaan Stranas tersebut diakui oleh pemerintah belum sepenuhnya berhasil. Sebagai penerusnya telah disusun Stranas yang baru untuk 2007-2010 yang disiapkan sebagai pedoman bagi pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil serta mitra internasional dalam upaya menanggulangi HIV-AIDS secara bersama-sama di Indonesia.
Di dalam Stranas diperkirakan 4 tahun ke depan program akan mengalami tantangan yang beragam seperti: Norma-norma dan perilaku, koordinasi multipihak terhadap respons, kebijakan pengembangan program, kebutuhan remaja dan dewasa muda, risiko khusus yang dihadapi anak perempuan, kebutuhan perluasan perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA, masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, dan desentralisasi pemerintahan.
Untuk mengantisipasinya diterapkan strategi sebagai berikut: 1. Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji coba cara-cara baru. 2. Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan pengobatan. 3. Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan. 4. Meningkatkan survey dan penelitian untuk memperoleh data bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS. 5. Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV di lingkungannya. 6. Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS. 7. Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemanfaatannya di semua tingkat.
Berdasarkan strategi ini program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dikembangkan dari area prioritas sebagai berikut: a) Pencegahan HIV dan AIDS serta IMS; b) Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA; c) Surveilans HIV dan AIDS serta infeksi menular seksual; d) Penelitian dan riset operasional; e) Lingkungan kondusif; f) Koordinasi dan harmonisasi multipihak; g) Kesinambungan penanggulangan.
Karenanya upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah bersama-sama dibantu oleh mitra internasional. Pemerintah meliputi departemen, kementerian, lembaga non-departemen dan dinas-dinas daerah serta TNI dan Polri. Masyarakat meliputi LSM, swasta dan dunia usaha, civil society lainnya dan masyarakat umum. KPA di semua tingkat berfungsi sebagai koordinator. Stranas menegaskan bahwa para pemangku kepentingan mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing dan bekerja sama dalam semangat kemitraan. Strategi nasional merupakan respons pemerintah dalam penanggulangan HIV-AIDS untuk memenuhi komitmen internasional, khususnya kesepakatan yang tercantum dalam Deklarasi UNGGAS. Seyogyanya, para pemimpin masing-masing sektor/instansi dapat mengaplikasikan peran dan tanggung jawab menanggulangi HIV-AIDS melalui strategi yang disesuaikan dengan bidang tugasnya. Dalam implementasi programnya, semua sektor perlu berkoordinasi sehingga tercipta sinergitas multi pihak untuk menanggulangi epidemi HIV-AIDS.
Di Sulut, penjabaran dari Stranas ini ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Strategi Daerah (Renstrada) 2008-2013 yang tinggal selangkah lagi akan disaghkan oleh ketua KPAP Sulut. Sejalan dengan itu, KPAP juga bersama dengan Sulut Bosami Network (SBN) membentuk tim perumus untuk menyusun rancangan peraturan daerah penanggulangan HIV-AIDS yang beberapa waktu lalu telah diserahkan kepada pemerintah melalui Wakil Gubernur Freddy H Sualang selaku ketua harian KPAP Sulut. Kehadiran Renstrada dan Perda ini dirasakan penting sebagai penyelaras dan pedoman kegiatan agar lebih optimal dan terarah. Kedua perangkat ini diperlukan untuk memantapkan dan menyelaraskan program penanggulangan yang dilakukan oleh berbagai kalangan agar upaya memerangi penyebaran HIV menjadi efektif dan terarah. Karena itu dukungan semua pihak terhadap kedua landasan program ini sangat diharapkan.
HINDARI KERUGIAN DENGAN KEPEDULIAN
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa keberhasilan penanggulangan HIV-AIDS sangat tergantung dari kemauan politik pada tingkat tinggi sebuah negara dan kesungguhan kepemimpinan dalam mengatasi masalah yang rumit ini. Kepemimpinan yang dimaksud terletak pada kepala negara, kepala daerah, semua instansi pemerintah, swasta, keagamaan, dan organisasi kemasyarakatan termasuk LSM.
Di banyak negara yang dilanda pandemi HIV-AIDS memperlihatkan dampak sosial ekonomi yang memprihatinkan. Kerugian ekonomi timbul akibat beban ekonomi langsung yang harus ditanggung oleh penderita (ODHA), keluarga serta masyarakat (OHIDHA) untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan HIV-AIDS yang sangat mahal. Sedangkan kerugian ekonomi tak langsung timbul akibat menurunnya produktifitas kerja dan meningkatnya angka kematian usia produktif akibat AIDS. Keluarga dan masyarakat miskin menjadi lebih miskin karena penderitann ini. Anak-anak menjadi yatim piatu karena ibu bapaknya yang meninggal terinfeksi HIV-AIDS. Mereka kemudian mengalami penderitaan sosial yang berkepanjangan karena kehilangan dukungan dari keluarga dan masyarakat.
Akibat lain adalah timbulnya stigmatisasi, diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap penderita dan keluarganya yang terkena HIV-AIDS. Diskriminasi masih ditemukan pada tempat-tempat pelayanan kesehatan, sekolah-sekolah, tempat kerja dan bahkan pada kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Semuanya ini didahului oleh kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan dan dekadensi moral para pemimpin yang terlelap dengan tampuk kekuasaan.
Keberadaan lebih dari 200.000 penderita HIV-AIDS di Indonesia termasuk 319 warga Sulut yang terdeteksi sampai Januari 2008 kiranya menjadi pengalaman empirik bagi para pemimpin khususnya dan masyarakat umumnya untuk dapat merespons epidemi ini. Prevalensi tersebut akan terus merangkak naik dan tak dapat dihentikan hanya dengan memperagakan sikap prihatin. Tetapi dibutuhkan kepedulian yang terapresiasi lewat tindakan untuk memerangi virus yang telah merenggut jutaan nyawa manusia ini. Jangan jadi pengecut tetapi tepati semua janji yang terujar ketika diangkat menjadi pemimpin.
Sekali lagi Rancangan Peraturan daerah telah disediakan, Rencana Strategi penanggulangan sudah disusun, KPAP sudah dibentuk, otoritas ada dalam genggaman, ketika kampanye telah berjanji, sementara korban HIV-AIDS semakin banyak,….apalagi yang ditunggu? Apalagi yang mengganjal? Jangan tunggu sampai daerah ini menjadi seperti negara-negara di sub sahara Afrika yang dikepung HIV-AIDS pada setiap sudut kota, mulai dari Balita sampai lansia, mulai dari pengemis sampai pejabat terkapar karena infeksi virus mematikan ini. Saatnya para pemimpin di semua aras dasar dan segera penuhi janji, sebab menanggulangi HIV-AIDS adalah bagian dari menciptakan masyarakat sehat dan sejahtera. Jangan abaikan HIV-AIDS, jka tak ingin daerah kita hancur…#
*Ketua Biro Informasi dan Kemitraan Karang Taruna Sulut, aktivis LSM, anggota KPAP)