21 April 2008

The Dragon Lady and The Iceberg Man

Oleh Reita Farah

DALAM iven hari Kartini 21 April 2008 ini janganlah terjadi kehampaan makna, karena rutinitas perayaannya cenderung begitu-begitu saja dari tahun ke tahun.
Boleh-boleh saja setiap tahun dicari sosok-sosok wanita pekerja keras, yang tidak cengeng berjuang menghadapi kerasnya kehidupan. Atau juga wanita-wanita ‘besi dan baja’ yang eksis di dunia politik dan pemerintahan. Serta wanita yang secara fisiologis ukuran otaknya lebih kecil dari pria, tapi kejeniusan dan ke-brilliant-annya melebihi kaum adam.
Setiap individu tidak boleh terjebak dan terlena dengan masalah emansipasi wanita. Tulisan ini mengajak pria dan wanita terlibat dalam perenungan tentang fitrah manusia. Bagaimanapun ada perbedaan atau tugas masing-masing, yang harus dipikul manusia pria dan manusia wanita di muka bumi ini.
KEJAHATAN DAN KETAKADILAN
Sebelum wanita menjadi besar kepala karena ‘trophy emansipasi’ sudah memahkotai kepala wanita, hendaknya wanita selalu mawas diri bagaimana perlakuan sejarah masa lalu terhadap wanita.
Di zaman purbakala, bangsa-bangsa Yunani purba, Romawi, Jerman, India, Cina dan Arab menganggap istrinya seperti memiliki hamba yang boleh diperjualbelikan. Seorang lelaki membeli istri dari si bapak dan berpindahlah kepada lelaki itu hak-hak si bapak terhadap anak wanitanya. Si suami berhak pula menjualnya kepada orang lain.
Peradaban Romawi menghukumkan kaum wanita adalah hamba sahaya yang mesti tunduk pada kemauan lelaki. Perundang-undangan India purba berisi “Wabah, mati, neraka, racun, ular dan api lebih baik daripada wanita”.
Pada zaman Yunani kuno di Athena, kaum wanita dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan dan dianggap suatu kotoran dari hasil perbuatan setan.
Taurat pun berpendapat: Aku dan hatiku berputar untuk mengetahui dan mencari serta mengharapkan hikmah dan pikiran sehingga dapat kutahu bahwa jahat itu adalah bodoh dan bodoh sombong adalah gila, dan aku dapatkan bahwa yang lebih pahit dari mati adalah wanita, yang dianggap sebagai perangkap, hatinya sebagai jaring dan kedua tangannya sebagai belenggu (The Old Testamen, Pengkhotbah 7:25-26).
Penulis Denmark, Weith Knudsen merangkum pendapat orang-orang Katolik, tulisnya: Dalam abad-abad pertengahan, perhatian terhadap kaum wanita Eropa amatlah terbatas, disebabkan aliran mazhab Katolik yang menganggap kaum wanita sebagai makhluk kelas dua (Bukunya berjudul ‘Feminism, terjemahan Arthur Chater, hal 200).
Di Semenanjung Arabia, kaum wanita menjadi cemoohan masyarakat Arab, sehingga kelahiran seorang anak wanita adalah memalukan. Yang terjadi kemudian membunuh anak-anak wanita mereka hidup-hidup.
Pada 586 M, suatu pertemuan untuk membahas masalah-masalah kaum wanita telah diadakan di Perancis. Dengan bahasan; pantaskah wanita dianggap seorang manusia atau tidak? Dan keputusannya: wanita adalah manusia yang diciptakan untuk kepentingan lelaki.
Di Inggris, Henry VIII melarang wanita Inggris membaca Kitab Suci dan sampai 1850 M wanita tidak dianggap sebagai warga negara. Hingga 1882 wanita tidak mempunyai hak-hak perseorangan dan tidak berhak memiliki sesuatu (property misalnya).
Pada abad pertengahan, di Universitas Cambridge, para mahasiswa wanita tidak diberi hak bergaul dalam kelompok mahasiswa (seperti: dewan mahasiswa/senat, kelompok debat, kelompok ilmiah Phi - Beta dan lain sebagainya). Selain itu tidak termasuk anggota alumni bila telah lulus.
Universitas Oxford pun baru mengeluarkan pemberian hak persamaan di antara siswa lelaki dan wanita pada 26 Juni 1964.
Betapa suatu perjalanan panjang dalam peradaban manusia! Sungguh proses evolusi emansipasi wanita itu berjalan sangat lambat!
DAMPAK EMANSIPASI
Saat ini masalah emansipasi dan kesetaraan gender sudah sukses diperjuangkan. Masalahnya sekarang ini banyak kerancuan pandangan tentang kedudukan wanita.
Cara pandang Barat selalu menjadi patokan, yang banyak dipakai sebagai pemikiran modern. Di mana gaya hidup masyarakat modern yang condong ke arah sekuler, individualis dan materialis serta hedonis. Ditambah pula pernyataan eksistensi diri dari pemberdayaan wanita lebih cenderung ke arah employability.
Maka wanita bersikeras harus bekerja, walau beberapa terjebak pada sekulerisme dan individualisme. Lalu karena kecenderungan materialisme-lah sehingga terseret pada gaya hidup hedonisme.
Jangan lupa, di Barat, yang dikatakan sebagai pembebasan wanita hanya menghasilkan beban ganda di pundak wanita.
Wanita dituntut dan bangga menjadi ‘superwoman’. Karena bisa memberi dua jalur kontribusi (kontribusi berarti membantu melahirkan suatu situasi, peristiwa atau kondisi, Dictionary of Contemporary English, Longman, hal 244), yaitu pendapatan materi dan pengaturan rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan kaum pria yang selalu egois, merasa sudah menjadi pahlawan bila nafkah keluarga telah terpenuhi. Masih maukah para suami itu berepot ria mengurusi tetek bengek rumah tangga?
Masalah emansipasi dan kesetaraan gender ini menjadi durian runtuh buat pria. Dan akhirnya malah menjadi bumerang bagi wanita.
Yaitu para pria masa kini banyak yang menuntut, salah satu kepatutan seorang wanita dijadikan istri karena ia seorang yang mandiri. Tapi yang dituntut dan ditekankan, mandiri secara finansial baik hasil keringat dari bekerja atau warisan keluarga.
Bahkan ada pria tertentu yang mensyaratkan, bila wanita tersebut tidak bekerja/berkarir, tidak patut dijadikan istri.
Iceberg Man, how high you standing there! Sungguh bodoh atau ketidaktahuan para pria itu, tentang dua potensi yang dianugerahkan Tuhan YME terhadap kaum adam. Yaitu potensi berupa anugerah natural dan potensi yang diusahakan.
Bersifat anugerah natural, adalah karakter laki-laki yang rasional, memiliki pertimbangan dan pandangan yang jauh ke depan. Memiliki kekuatan jiwa yang relatif stabil, yang membedakan dengan kaum perempuan yang umumnya lebih dominan perasaan dan emosinya, dan cenderung kurang matang pertimbangan.
Sedangkan potensi yang bisa diolah atau diusahakan dari individu pribadi lelaki yakni laki-laki yang menjadi tulang punggung dalam hal penghidupan. Dialah yang bertanggung jawab mencari nafkah, bertanggung jawab melindungi dan mengayomi keluarga dan menjaga sepenuhnya dari berbagai mara bahaya yang akan menghancurkannya.
Bukankah ada anggapan ‘seorang lelaki diciptakan dalam keadaan sabar teguh menanggung sakit, sedangkan perempuan diciptakan hanya untuk meratap dan menangis’.
Dengan keadaan wanita yang lemah itu kenapa pula masih dituntut menjadi ‘superwoman’ oleh kebanyakan kaum pria. Bila seorang pria tergolong manusia yang baik, sudah pasti ia memperlakukan wanita dengan baik. Ini sesuai dengan tolok ukur dari Nabi Muhammad SAW, yaitu “Yang terbaik di antara manusia adalah orang yang baik terhadap wanita”.
Sebenarnya arti luas mandiri ialah bukan melulu keberhasilan ekonomi atau bertumpuk materi. Seorang wanita mandiri mengetahui kapasitas dan potensi dirinya. Ia sadar tempat di mana dan sadar cara bagaimana berpartisipasi. Diwujudkan dengan membimbing objek/prasarana, menyalurkan ambisi/cita-cita, dan keterampilan yang dipraktikkan.
Dan berkata soal kontributor, seringkali yang terpikir: wanita kontributor adalah wanita yang bekerja di kantor dengan sebuah jabatan dan berpenghasilan layak.
Tidak terpikirkan kah seorang guru informal yang nyaris tanpa honor, yang memberi bimbingan di Tempat Pengkajian Al Qur’an atau di Sekolah Minggu? Perhatikan juga pekerja LSM yang tidak digaji/volunteer, petani yang bekerja di terik matahari, dan wanita pembina rumah tangga (PRT dan ibu RT).
Sangat dipahami sekali bila wanita bekerja karena faktor ekonomi. Yang penting wanita bekerja karena mampu secara praktis dan intelektual.
Bukankah semua pekerjaan dapat dianggap ibadah, jika dilakukan dengan niat suci dan mencari ridho Tuhan YME. Ibu rumah tangga yang selalu mengganti popok anaknya, PRT yang mengepel lantai dapur atau manajer papan atas di perusahaan bonafide, semua pekerjaan itu sesuatu yang bernilai. Nilai tinggi itu berpotensi sebagai ibadah yang akan diberi pahala di hari akhir nanti.
Perlu menjadi perhatian kaum pria sesudah ini tentang pemahaman emansipasi, kesetaraan gender dan kemandirian wanita adalah jangan yang berujung pada eksploitasi materi demi keuntungan dan keringanan para pria sendiri.
Hendaknya menjadi pelajaran bagi para pria dari contoh yang sudah ada, soal perceraian banyak selebriti wanita di negeri ini. Di mana income mereka sangat tinggi, yang membuat gaya hidup yang dimiliki lebih baik dari kebanyakan orang.
Namun toh kecukupan dan kelebihan materi itu tidak menjamin kebahagiaan dan kelanggengan rumah tangga. Di mana kelemahan dan keletihan emosi seorang wanita akhirnya menjadi pemicu kata cerai dari seorang istri. Yaitu istri yang pendapatan ekonominya jauh lebih tinggi dari si suami.
Satu hal lagi, pendapatan atau harta seorang wanita hanyalah sedekah secara hukum agama, bila diberikan pada rumah tangganya. Sedekah itu berkriteria atas dasar kerelaan dan kemampuan si pemberi.
Seorang pria tidak tahu diri bila menuntut atau menargetkan sekian jumlah dari isterinya. Dan sangat jahat bila menghendaki sebagai nafkah rumah tangga. Karena nafkah sifatnya kewajiban/keharusan.
Isu kesetaraan gender dan emansipasi tentu sudah basi untuk wanita tipe Hillary Rodham Clinton. Dulu yang menjadi obsesi ialah kaum wanita bisa sejajar dengan pria. Tapi kini ambisi telah mengantarkan ego untuk: melawan-mengungguli-mengalahkan pria.
Para wanita modern yang diberi nasib dan kedudukan yang memungkinkan untuk meraih apa saja yang diinginkan, harus hati-hati menyalurkan powernya dan mengelola egonya.
Dragon lady, be careful with your fire!
Bila untuk sekadar menang-menangan antara kemampuan pria dan wanita, lupakan saja!
Suatu target/kedudukan bersikeras diraih oleh wanita kan sebenarnya hanya untuk sarana saja. Banyak cita-cita mulia dan proyek kemanusiaan yang antri menunggu untuk dijalankan.
Wanita seharusnya waspada, gengsi dan kehormatan suatu jabatan adalah nomor sekian dari prioritas hidup. Yang penting yakni tersalurnya cita-cita untuk diberi kesempatan berkontribusi pada lingkungan. Serta diberinya kepercayaan oleh anggota komunitas, untuk mengolah program peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Hari Kartini ini merupakan moment yang tepat, untuk menelaah dampak emansipasi wanita terhadap ego pria dan ego wanita.
Sejatinya bila kembali ke fitrahnya, akan timbul sadar diri tentang porsi masing-masing.
Hakikatnya, status manusia tidak terlalu diperuncing/dipermasalahkan, apakah harus pria/wanita yang memegang ujung tombak. Yang penting keselarasan satu sama lain, keikhlasan mengakui kelemahan dan kelebihan masing-masing. Baik pria maupun wanita, saling mengakui keberadaan diri tapi tidak terlalu men‘dewa’kan atau men’dewi’kan salah satu pihak.
Berikut ini untaian kalimat hasil karya penulis sendiri.
The dragon lady always be carefully with her fire
And the iceberg man not always so high standing there
Then they can sitting together
Love to each other
Living in harmony-happily ever after……
(what a romantic and wonderful life).#