Oleh Frans Wiel Lua*
SATU sore di Nanggroe Aceh Darussalam, akhir November 1997.
“Hallo…”, suara dering telepon di rumah dinas kepala kantor Imigrasi Kelas II Lhok Seumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. “Hallo… ini dari siapa…?”, jawab Ny. Urendeng-Banera, istri sang kepala kantor. “Mami…., ini dari Mikronesia, dari Liti…”, jawab suara dari seberang. Apa…, Benar ini Liti..?, tanya sang nyonya. “Iyo mami, ini dari Mikronesia, dari pa Liti..” Aksen Manado yang kental dalam logat Miangas dan warna suara yang khas, yang sangat dikenalnya membuat sang nyonya yakin bahwa itu benar anaknya. Sang nyonya langsung pingsan. Haru bercampur bahagia. Belakangan ia tahu bahwa anaknya bidan Litisya Urendeng masih hidup.
Litisya Urendeng adalah seorang bidan PTT yang ditempatkan di Pulau Miangas, Kecamatan Nanusa, di wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud, yang bersama dengan rekan sekerjanya Mantri Albert Nusa dan beberapa penduduk Miangas lainnya mengalami naas terdampar di Pulau Chuk, Republik Mikronesia, saat merujuk ibu melahirkan dari Pulau Miangas ke Puskesmas Karatung, ibu kota kecamatan Nanusa.
Bermula dari seorang ibu yang tidak dapat melahirkan karena panggul sempit, pada awal September 1997 dan memerlukan harus dirujuk. Setelah keluarga sepakat untuk dirujuk, mereka berangkat dengan perahu kayu bermotor tempel dan lalu tersesat di Samudera Pasifik, terombang-ambing di tengah gelombang samudera yang ganas selama 72 hari, sebelum sebuah kapal Jepang menyelamatkan mereka. Dalam peristiwa tersebut 10 orang dari 14 orang yang ada dalam perahu tewas, termasuk sang orok.
Cuplikan peristiwa di atas merupakan rekam ulang jejak fenomena Kepulauan Nanusa sebagai gugus pulau-pulau terluar dalam hubungannya dengan dilema merujuk pasien, yang merupakan repsentasi dari banyak peristiwa yang mirip dan dalam urusan yang sama pula. Merujuk pasien !
Betapa tidak, hanya karena urusan merujuk pasien harus bersabung nyawa bahkan harus mati berkubur samudera. Tak tahu rimbanya. Aneh memang! Di saat beberapa tempat merujuk pasien bukan lagi merupakan masalah. Tapi di Kepulauan Nanusa, justru berbanding terbalik, terjadi di tengah-tengah arus informasi, komunikasi dan transportasi global yang semakin canggih.
Kepulauan Nanusa adalah gugus pulau-pulau yang merupakan wilayah pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud yang secara geografis terletak di bagian paling utara NKRI berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Tiga dari lima gugusan pulau-pulau terluar yang ada di Provinsi Sulawesi Utara berada di kawasan ini, yaitu Pulau Miangas, Marampit dan Kakorotan. (Perpres No.78/2005). Sebagian besar penduduknya tergolong miskin, sulit diakses akibat berbagai keterbatasan dan sering terjadi bencana, terutama kekurangan pangan (kalau tidak ingin dikatakan sebagai bencana kelaparan) akibat cuaca yang kurang bersahabat sehingga akses transportasi untuk distribusi sembako terhenti.
Kini, satu dasawarsa telah berlalu, suatu rentang waktu yang lumayan panjang untuk mereformasi sebuah masalah sekecil (atau sebesar?) merujuk pasien. Bijaklah kita menoleh ke Kepulauan Nanusa 1997 dalam urusan merujuk pasien dan membandingkannya dengan keadaan terkini. Kalau mau jujur, keadaan Kepulauan Nanusa sekarang berbanding lurus dengan keadaan satu dasawarsa lalu. Masih sama! Persis “pinang dibelah dua”!
Merujuk pasien masih menjadi masalah serius, yang akar masalahnya multi kompleks sehingga membutuhkan pemecahan yang multi komples pula. Di Kepulauan Nanusa merujuk pasien bukan hanya sekadar masalah kesehatan. Banyak fakta yang tak dapat disangkal, membuktikan hal tersebut.
Keadaan geografis Kabupaten Kepulauan Talaud (BPS Talaud, 2005) yang terdiri dari pulau-pulau yang saling berjauhan dan sulit dijangkau, terlebih Kepulauan Nanusa, menjadi faktor yang menyulitkan bagi penderita untuk mencari pengobatan ataupun dalam upaya untuk merujuk pasien. Apalagi jarak dengan RS Mala di ibu kota kabupaten sebagai pusat rujukan dianggap sangat jauh.
Untuk merujuk pasien dari Pulau Miangas yang berjarak 129 mil laut dari Melongguane, ibu kota kabupaten (BPS, Talaud, 2005), ke RS Mala memerlukan waktu tempuh setidaknya tiga hari dengan menggunakan kapal perintis, karena harus singgah berlabuh di setiap pelabuhan perintis. Green, dikutip Sarmudianta, 2002, menyatakan bahwa jarak dan waktu tempuh merupakan faktor pemungkin untuk menghambat upaya mencari pengobatan (health seeking), ketaatan berobat (compiliance) dan sistem rujukan (referal system).
Ketiadaan biaya merupakan masalah utama keluarga dalam upaya merujuk pasien. Suatu kenyataan empiris adalah saat pihak Puskesmas mengambil keputusan untuk merujuk pasien, selalu terbentur dengan masalah biaya dari pihak keluarga. Apalagi dalam keadaan emergensi pasien harus dirujuk saat itu, maka “biaya” bagi keluarga ibarat bom waktu yang siap meledak saat itu.
Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi ekonomi tersebut di atas, membuat keluarga tidak siap dari segi finansial. Kartu miskin yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong, tidak dapat berbuat banyak, karena kartu miskin ditujukan untuk membiayai pengobatan dan perawatan, bukan untuk transportasi. Akumulasi jarak dan waktu tempuh akan membuat biaya transportasi menjadi lebih tinggi. (Sarmudianta, 2002)
Pembiayaan kesehatan yang dialokasikan Pemkab Talaud dalam APBD Talaud 2006, sebesar 3,78 persen dari total 321 miliar (Profil Kesehatan Talaud, 2006) dengan pembiayaan perkapita Rp146.587 sebenarnya sudah sesuai target Millenium Development Goals, Rp. 120.000 per kapita (MDGs, 2005) tapi belum dapat dirasakan meyentuh pelayanan publik sampai ke tingkat merujuk pasien karena masih lebih banyak digunakan untuk membenahi infrastruktur kesehatan.
Kondisi ketiadaan biaya ini lebih menjadi parah bila saat merujuk pasien tidak bertepatan dengan jadwal kapal perintis sehingga harus menggunakan Pusling laut atau perahu motor penduduk, karena keluarga akan diperhadapkan dengan lonjakan biaya yang lebih besar, yaitu biaya untuk BBM. Harga BBM yang sangat tinggi sangat membatasi daya beli keluarga sehingga BBM yang dibeli terbatas pada “yang penting sampai di tempat tujuan” tanpa ada cadangan BBM. Suatu keadaan yang sangat berisiko.
Tragisnya lagi adalah bila saat merujuk pasien, tidak tersedia BBM di toko atau di warung-watung. Penulis dan staf Puskesmas Karatung lainnya bersama keluarga pasien punya pengalaman mendorong-dorong gerobak dari rumah ke rumah penduduk, hanya untuk mengumpulkan satu dua botol minyak tanah untuk keperluan merujuk pasien.
Kebijakan PT Pelni yang melarang penumpang memuat minyak tanah, terlebih bensin, di kapal-kapal perintis, menambah kusutnya benang merah akses BBM, karena nyaris membuat akses penduduk Kepulauan Nanusa terhadap BBM menjadi tidak ada sama sekali, dalam kondisi ini, mencari BBM di Kepulauan Nanusa ibarat “mencari jarum di antara tumpukan jerami“. Kalaupun ada harganya selangit!
Kesulitan terhadap akses transportsi menjadi masalah tersendiri dalam hal merujuk pasien. Pada kenyataannya akses transportasi ke Kepulauan Nanusa hanya dapat diakses melalui laut yang dilayani oleh kapal-kapal perintis dan sebuah kapal Pelni dan berlangsung hanya sekali dalam 2 minggu (BPS Talaud, 2005)
Dalam konteks akses transportasi, merujuk pasien dari Pulau Miangas bak “menunggu takdir” karena harus menunggu jadwal kapal perintis tanpa adanya pilihan lain. Lebih tragis bila kapal perintis tersebut tidak dapat berlabuh atau merapat di dermaga Miangas karena cuaca yang tidak bersahabat, maka merujuk pasien bagaikan “pungguk merindukan bulan”. Tidak bisa sama sekali! Jauh panggang dari api!
Keadaan cuaca yang lebih banyak kurang bersahabat, merupakan penyulit yang nyaris tidak dapat diintervensi karena harus berhadapan dengan kekuatan alam, merupakan kendala lain dalam upaya merujuk pasien. Seorang penjabat provinsi yang pernah berkunjung ke Kepulauan Nanusa, entah benar atau tidak, pernah mengatakan bahwa 10 bulan dari 12 bulan dalam setahun, di Kepulauan Nanusa adalah musim kencang.
Uniknya, dalam keadaan seperti ini, bila merujuk pasien merupakan suatu pilihan absolut dan harus menggunakan pusling laut, keputusan merujuk pasien sangat tergantung pada sang “engineer” yang seakan jiwa dan raganya sudah menyatu dengan laut dan cuaca. Walaupun pasien sudah siap dirujuk, bila sang engineer mengatakan “torang blum boleh brangkat skarang dari jam bagini angin ini mo batiop kancang” maka petugas kesehatan dan keluarga tidak berdaya dan langsung percaya. Suatu keadaan yang kurang bisa diterima akal sehat, tapi lebih banyak benarnya daripada salahnya.
Kurang memadainya sumber daya kesehatan yang ada di Kepulauan Nanusa, seyogyanya merupakan masalah prioritas dalam upaya pembangunan di sektor kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud, khususnya di Kepulauan Nanusa, karena selain kurangnya kuantitas dan kualitas juga karena faktor kemudahan intervensi, dengan asumsi bahwa sektor kesehatan adalah domain otonomi daerah (UU No.22/1999) yang dapat dengan mudah diintervensi langsung oleh daerah melalui dinas kesehatan dan badan kepegawaian daerah.
Dari sisi kuantitas, rasio sumber daya kesehatan berbanding jumlah penduduk (SK Menkes No.1202, 2003), di Kepulauan Nanusa sudah dapat dikatakan memadai, terutama rasio dokter umum dan perawat. Kepulauan Nanusa yang berpenduduk 4.206 jiwa (BPS Talaud 2005) idealnya dilayani 1-2 orang dokter umum dan 5 orang perawat, dan sudah sesuai dengan keadaan di lapangan saat ini. Rasio bidan yang idealnya dilayani oleh 4 orang bidan baru terealisasi 2 orang yang semuanya terkonsentrasi di Puskesmas induk.
Di sisi lain dengan kondisi geografis kepulauan, rasio tersebut dirasa masih kurang dan penyebarannya pun belum merata, karena kebanyakan sumber daya kesehatan tersebut terkonsentrasi di Puskesmas Induk sebagai pemegang program. Keadaan ini terlihat dari adanya Puskesmas pembantu yang belum ditempati sumber daya kesehatan. Bahkan poliklinik bersalin desa yang seharusnya ditempati oleh seorang bidan desa, semuanya masih kosong. Dari sisi program, rasio sumber daya kesehatan juga masih terkesan kurang, ini terbukti dengan adanya petugas Puskesmas yang masih memegang program secara rangkap.
Ke depan, keadaan rasio sumber daya kesehatan ini akan terasa lebih stagnan mengingat banyak sumber daya kesehatan yang tidak mau ditugaskan di kawasan ini, karena menganggap kawasan ini sebagai tempat pembuangan dan hanya pantas ditempati oleh pegawai-pegawai yang bermasalah, sebagai hukuman, sehingga dengan berbagai macam cara berusaha untuk menghindari penempatan tugas di wilayah ini (sama dengan Nusa Kambangan?).
Kurangnya pelatihan-pelatihan tentang manajemen kegawatdaruratan dan cara mempertahankan hidup pasien (survival), membuat kualitas sumber daya kesehatan di Kepulauan Nanusa masih terkesan kurang memadai. Bila kendala-kendala seperti yang disebutkan di atas, diimbangi dengan kecakapan sumber daya kesehatan, terutama perawat dan bidan, dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan dan cara mempertahankan hidup (survival) pasien, maka setidaknya rujukan pasien dapat ditunda sampai kapal perintis datang atau menunggu kesiapan keluarga pasien.
Apapun alasan dan latar belakangnya, entah disadari atau tidak, kenyataan empiris sudah terjadi. Merujuk pasien dari Kepulauan Nanusa ibarat “makan buah simalakama”. Sangat dilematis! Tidak dirujuk, pasien mati! Dirujuk, keluarga dan petugas kesehatan babak belur! Untuk itu perlu kajian mendasar, agar dapat diperoleh desain kebijakan yang cocok dengan tipikal kawasan ini, sehingga kendala-kendala dalam merujuk pasien dapat dieliminasi atau setidaknya direduksi.
Mengingat kondisi geografis dan alam tipikal kawasan Nanusa yag kurang bersahabat, yang tidak dapat diintervensi karena harus berhadapan dengan kekuatan alam, ditambah dengan kendala-kendala lain, maka peningkatan kualitas sumber daya kesehatan merupakan pilihan pertama. Pelatihan-pelatihan tentang penatalaksanaan kegawatdaruratan dan cara mempertahankan hidup pasien merupakan sebuah “conditio sine quo none”. Sebuah keharusan!
Memotong jarak rujukan, merupakan alternatif yang lain agar mempercepat pasien rujukan sampai di pusat rujukan. Jarak 129 mil laut dengan waktu tempuh 3 hari dari Pulau Miangas ke RS Mala, adalah terlalu jauh untuk pasien rujukan. Maka rencana Pemkab Talaud untuk membangun sebuah rumah sakit di wilayah Karakelang Utara, menjadi alternatif jitu untuk memotong jarak rujukan dari Kepulauan Nanusa.
Alternatif lain adalah pengadaan depot BBM di Kepulauan Nanusa. Hal ini bukan semata untuk kebutuhan merujuk pasien, tapi juga bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (daily living needs) seperti kebutuhan BBM untuk nelayan dan urusan memasak di dapur. Dengan depot BBM, maka akses terhadap BBM yang nyaris tidak ada dapat diatasi.
Meningkatkan akses transportasi, merupakan pilihan lain yang terasa lebih sulit direalisasikan karena tidak hanya melibatkan Pemkab Talaud, namun bukan berarti tidak bisa sama sekali. Pengalaman bahwa sudah pernah ada pengusaha pelayaran lokal yang membuka akses pelayaran ke kawasan Nanusa (KM Alkasa dan KM Raflesia), bisa menjadi pertimbangan Pemkab Talaud untuk melobi pengusaha lainnya, membuka akses pelayaran ke Kepulauan Nanusa, sehingga masyarakat punya alternatif lain selain kapal perintis, termasuk alternatif dalam merujuk pasien.
Diharapkan dengan peningkatan kualitas sumber daya kesehatan, memotong jarak rujukan, pengadaan depot BBM dan perluasan akses transportasi dapat mengeliminasi atau setidaknya dapat mereduksi Kendala-kendala yang ditemukan dalam urusan merujuk pasien di kawasan ini, sehingga ke depan nanti tidak ada lagi bidan Litisya dan Mantri Albert yang lain, yang harus bersabung nyawa di belantara samudra, hanya untuk urusan merujuk pasien. Dan yang paling penting adalah merujuk pasien dari Kepulauan Nanusa tidak lagi menjadi masalah. Semoga!#
*Perawat Puskesmas Karatung Kabupaten Kepulauan Talaud. Sementara mengikuti pendidikan S1 Epidemiologi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Program Beasiswa Desentralisasi Kesehatan Asian Development Bank (DHS-ADB)